Kota Tarim yang pada tahun 2010 M mendatang dinobatkan menjadi ibu kota budaya Islam, di awal bulan Syawal ini mencoba mengawali bulan qomariyahnya dengan memberikan gambaran nyata kepada kita tentang sebuah kota religi, di mana nilai-nilai keislaman selalu dijunjung tinggi dari kurun ke kurun.
Diantaranya adalah puasa syawalan secara serempak yang dilakukan oleh masyarakat setempat sehingga disebut-sebut sebagai ramadhan shagir
(bulan Ramadhon kecil) karena geliat aktifitas di awal syawal ini
nyaris tidak berubah dengan apa yang terjadi di bulan Ramadhan, dari
geliat aktifitas puasa, tutupnya sebagian besar pusat perbelanjaan di
pagi hari, dan semarak khotmil-quran, mungkin yang mebedakan hanya
tidak adanya ritual shalat tarawih di malam ramadhan shagir ini.
Menjelang waktu isyroq, saya bersama rekan sekamar di asrama fakultas Syariah-Tarim meluncur di atas sepada motor menuju kota Tarim yang letaknya tidak begitu jauh dari asrama kami. Beberapa rekan yang lain juga melakukan aktifitas yang sama, untuk menghadiri "uwad-uwadan" yang berlangsung pada hari ini di hari ke-8 Syawal 1430 H tepatnya setelah masyarakat Tarim secara umum melaksanakan puasa syawalan selama enam hari lamanya. Seperti halal-bihalal di tanah air kita, hanya saja acara yang disuguhkan sangat berbeda.
Lawatan massal ini di hadiri oleh sejumlah warga Tarim juga daerah sekitarnya seperti Seiyun, acara yang berlangsung di Hawi al-Khairat tempat kediaman Habib Abdulullah bin Alawi al-Haddad dipimpin langsung oleh tokoh dari sadah marga al-Haddad. Pada acara itu bukhur sejenis kayu yang ditaruh di atas arang dalam sebuah wadah kecil di edarkan kepada para hadirin, mereka juga disuguhi air putih dan kopi khas hadhramaut. Tak lupa lantunan nasyid oleh mu'alim dari marga Bakharmi, marga Baghorib dan Bamanqor selalu mengiringi acara. Kemudian di akhiri dengan membaca Ummul-Qur’an dipimpin oleh sang munshib (semacam kepala sesepuh dalam satu marga terntu, dalam hal ini adalah marga al-Haddad) kemudian acara di akhiri dengan doa. Konon lantunan qasidah itu adalah sebagai cara agar para masyarakat yang hadir bersilaturrahmi tidak mengobrol sendiri-sendiri, sebuah cara bijak yang pantas ditiru. Sangat berbeda sekali dengan ritual halal-bihalal masyarakat kita di tanah air.
Perlu disebutkan, sebagai bagian dari masyarakat Tarim yang telah bermukim selama 5 tahun untuk menuntut ilmu, saya mengatakan bahwa Organisasi Pendidikan, Sains dan Kebudayaan Islam (ISESCO) tidak salah pilih dan sangat tepat menjadikan kota Tarim sebagai ibu kota budaya Islam untuk tahun 2010 mendatang. Karena suasana estetik religius masyarakatnya benar-benar terasa mendamaikan kalbu. Satu ikon penting yang menggambarkan suasana Tarim adalah Masjid Muhdhar dengan arsitektur tersendiri dari menara lumpurnya setinggi 150 meter. Ibu kota kebudayaan sekarang ini adalah Kairouan di Tunisia, sedangkan tahun lalu berada di Iskandariyah Mesir. (AM. Saputra)