Setelah Abu Thuwairiq meninggal, keluarga besar al-Katsiri pecah dan
kekuasaan jatuh ke tangan keluarga al-Yafi'i. Namun keluarga ini
akhirnya juga pecah. Kondisi ini memberikan signal posotif bagi Inggris
untuk ikut mencampuri urusan dalam negeri. Mereka berdalih demi
melindungi warga dari segi ekonomi. Di saat itulah banyak Hadharim yang
hijrah ke penjuru dunia, seperti wilayah pantai timur Afrika, Comoro,
Madagascar, Zanzibar, Asia Tenggara dan kawasan pantai India hingga
Philipina.
Hijrahnya Hadharim sangat berpengaruh terhadap transportasi dan hubungan dagang di sepanjang pantai Afrika, mulai dari Somalia hingga Mozambique. Hadharim Sadat (keturunan nabi SAW), selama beberapa abad memegang jabatan hakim agung di Comoro.
Hadhramaut telah menjalin hubungan dengan India sejak lama. Hubungan itu makin berkembang setelah masa keislaman. Hadharim Sadat hijrah ke India pada abad pertengahan, ketika perdagangan dan perpolitikan di wilayah Gujarat, seperti Ahmad Abad, Baroda, Bahar Wasyar dan Sarat, stabil.
Di India, Hadharim memegang peran penting dalam kekuasaan Islam. Hadharim melebarkan sayap ke Haidar Ahmad untuk menyusun pasukan tentara yang didominasi oleh Arab Hadharim. Pada tahun 1849 M terhimpun pasukan sebanyak lima ribu personil. Sedang kelompok Arab Hadharim yang lain mengembangkan perdagangan, hingga mereka berhasil memiliki sejumlah tanah dan uang.
Untuk Asia Tenggara, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli sejarah, Hadharim sampai di wilayah ini sebelum abad ke-13 M. Mereka menyebarkan Islam dan berhasil membangun sejumlah kerajaan di Philipina, Sumatra, Jawa, Singapura dan Malaysia. Selain berdakwah, mereka juga gigih berperang melawan penjajahan Eropa dan Belanda, mulai abad ke-16 M hingga akhir abad ke-19 M.
Hijrahnya Hadharim tidak berakhir hingga di akhir abad ke-19 dan awal-awal abad ke-20 M. Di tahun 1895 M, jumlah mereka mencapai 24.410. Pada tahun 1930 M mencapai 71.335. Mereka kebanyakan ahli di bidang perdagangan. Hingga tak sedikit yang berhasil mengumpulkan harta yang dikirim ke negeri asalnya.
Namun banyaknya harta membawa malapetaka perpecahan dan perang saudara. Banyak di antara mereka yang kemudian membangun kerajaan sendiri-sendiri dari hasil kekayaan yang dikeruk dari Asia Tenggara. Misalnya Umar bin Ja’far bin Isa bin Badr al-Katsiri yang pulang dari Jawa tahun 1815 M dan membangun istana di Shibam pada tahun 1818 M.
Yang paling menonjol dalam pendirian negeri kecil dari hasil yang didapat dari Asia Tenggara adalah keluarga Bin Abdat di Kota Ghurfah, pada tahun 1924-1945 M. Ia mendirikan sejumlah yayasan yang bergerak di bidang politik dan sosial.