Perubahan adalah sunnatullah
Dari kegelapan malam menjadi terbitnya terang mentari pagi, dari dinginnya syitaa' menjadi panasnya shaif, dari tunas tumbuhan menjadi pohon rindang serta berbuah semua itu adalah sebuah representasi dari perubahan alami yang terjadi di dalam kehidupan kita. Tidak mungkin hari selalu petang karena suatu saat akan terbit terang, pasti ada perputaran roda perubahan yang menjadikan apa yang ada di atas kelak akan berada di bawah, demikian juga yang ada di bawah kelak akan berada di atas. Yang hidup kelak akan mati, kecuali Dia Dzat yang Maha Kekal. Demikianlah sunnatullah yang telah digariskan, hidup ini pasti akan terus mengalami perubahan. Adakalanya perubahan itu menuju kepada hal yang lebih baik dan ini adalah harapan dari semua orang tanpa terkecuali namun adakalanya juga perubahan itu malah memperpuruk keadaan yang sudah ada.
Demikian juga negara kita tercinta yang tidak habis-habisnya diterpa badai cobaan, dari krisis mutlitdimensi yang tak kunjung mendapat jalan keluar, ketidak stabilan perekonomian bangsa, tingginya angka pengangguran nasional, kurangnya pemerataan pendidikan dan pembangunan hingga kasus korupsi yang merajalela dan telah menjadi darah daging, cobaan ini semua membuat sebagian masyarakat skeptis terhadap perubahan, pun melihat kinerja pemerintah dari masa ke masa yang dirasa tidak dapat mewakili suara hati mereka untuk mendapatkan kesejahteraan hidup yang lebih layak baik secara materi maupun non-materi. Mengingat ini semua, rasanya pemilu yang sejatinya dilakukan tiap empat tahun hanyalah formalitas belaka tanpa arti. Tidak sedikit para politisi yang dengan mudahnya mengobral janji akan menyejahterakan rakyat, meminimalisir pengangguran, meningkatkan pendidikan dan seterusnya meskipun kita tetap yakin masih adanya politisi "putih" yang terus berjuang dengan hati nurani. Maka sebagian kalangan beranggapan bahwa ada pemilu atau tidak ada pemilu sama aja, keadaan akan tidak jauh berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Benarkah pemilu hanya menjadi ritual tahunan saja? Bukankah perubahan adalah hak setiap anak adam untuk merasakannya?
Islam dan Pembangunan Bangsa
Mari kita buka lembar sejarah yang mencatat peran ulama-ulama yang turut andil dalam membangun bangsa ini. Dan sejarah itu tidak dapat dipisahkan dari sejarah pesantren sebagai rahim lahirnya tokoh-tokoh nasional tersebut. Di zaman pergerakan pra-kemerdekaan, peran pesantren juga sangat menonjol, lagi-lagi melalui alumninya. HOS Cokroaminoto pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah juga alumni pesantren. KH. Mas Mansur, KH.Hasyim Ash’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir, (untuk menyebut beberapa nama) adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh. Di tengah masyarakat mereka adalah guru bangsa, tempat merujuk segala persoalan di masyarakat. Di tengah percaturan politik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia peran mereka tidak diragukan lagi.
Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah. Di balik itu dalam pikiran mereka adalah konsep jihad melawan kezaliman, konsep ukhuwwah untuk membela sesama saudara seagama dan konsep kebebasan yang menolak segala bentuk penindasan. Itu semua tidak lepas dari pengaruh pandangan hidup Islam.
Sesudah kemerdekaan, alumni-alumni pesantren terus memainkan perannya dalam mengisi kemerdekaan. Moh. Rasyidi, alumni pondok Jamsaren adalah Menteri Agama RI pertama, Mohammad Natsir alumni pesantren Persis, menjadi Perdana Menteri, KH.Wahid Hasyim, alumni pondok Tebuireng, KH.Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH.Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid menjadi wakil Perdana Menteri dan ketua MPRS. Singkatnya, di awal-awal kemerdekaan RI para kiai dan alumni pesantren berpatisipasi hampir di setiap lini perjuangan bangsa. Perlu dicatat bahwa jabatan-jabatan itu bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa.
Di era Orde Baru di tengah maraknya pembangunan fisik yang disertai dengan proses marginalisasi peran politik ummat Islam, kiai dan pesantren tetap memiliki perannya dalam membangun bangsa. Dampak pembangunan fisik yang tidak berangkat konsep character building adalah dekadensi moral, korupsi, tindak kekerasan dan lain-lain. Akibatnya pendidikan, khususnya sistem sekolah di kota-kota besar tidak lagi menjanjikan kesalehan moral dan sosial anak didik. Dalam kondisi seperti inilah pesantren muncul menjadi sebagai alternatif penting. Dengan jiwa ukhuwwah Islamiyah di pesantren tidak pernah terjadi “tawuran”; dan karena jiwa kemandirian di pesantren tidak sedikit dari santri drop out justru sukses sebagai pengusaha. (Hamid Fahmi Zarkasyi; Hutang Bangsa Pada Pesantren).
Dari uraian singkat di atas, jelas derap langkah perubahan bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pesantren dan ulama dengan berbagai macam upayanya. Maka sudah seharunya kita sebagai duta bangsa yang tengah menimba ilmu di Negeri Saba' ini pantang untuk tidak mengikuti jejak beliau-beliau yang telah mengorbankan tenaga dan pikiran demi kepentingan bangsa. Tidak sepatutnya kita ikut-ikutan skeptis untuk tidak menerima perubahan melalui salah satu mekanisme demokrasi yang berupa pemilihan umum (pemilu). Karena kita sebagai generasi bangsa Indonesia berkewajiban untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan para pendahulu kita yang dengan tulus mencurahkan segala daya dan upayanya demi ummat.
Jadilah Pemilih Dewasa
Setiap generasi dan individu yang bertanggung jawab tentu memiliki caranya sendiri dalam memberikan sumbangsihnya untuk perkembangan dan kemajuan tanah airnya, tidak terkecuali kita di sini yang sedang berada dalam perantaun yaitu memberikan hak suara pemilu. Jika toh sekiranya hasil pemilu yang akan digelar pada medio April tahun ini tidak dapat memberikan manfaatnya secara signifikan pada kita di sini, namun setidaknya hak suara pilih yang akan kita berikan kelak kepada wakil rakyat yang bertanggung jawab diharapkan dapat berguna bagi sanak famili kita dan masyarakat di Indonesia sana, oleh karenanya jangan samapai kita asal pilih atau sebagaimana yang dikatakan pepatah "membeli kucing dalam karung" karena hal itu akan berujung pada semakin terpuruknya negeri kita.
Tahun politik 2009 sudah kita lewati beberapa pekan. Sederet peristiwa politik bakal kita jalani sepanjang tahun, dan lima tanggal di antaranya patut dicatat. Pemungutan suara untuk pemilu legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) berlangsung pada 9 April. Pemungutan suara untuk pemilu presiden putaran pertama diselenggarakan pada 6 Juli, disusul putaran kedua, jika diperlukan, pada 21 September. Ketiganya disusul pelantikan anggota legislatif periode 2009-2014 pada 1 Oktober dan pelantikan presiden dan wakil presiden 2009-2014 pada 20 Oktober.
Untuk menyambut peristiwa itu sebagaimana yang sarankan oleh Eep Syaifullah Fatah ada baiknya kita tak menjadi pemilih cengeng dan kanak-kanak, yang menyalahkan partai politik dan kandidat atas rendahnya kualitas pemilu. Jauh lebih konstruktif, membangun kualitas diri sebagai pemilih dewasa, atau, sekalipun pada akhirnya memutuskan untuk tak memilih, kita melakukannya dengan sama dewasanya. Transformasi berikutnya pun diperlukan, yakni dari ”pemilih” menjadi ”penagih janji” yang berupaya menjaga haknya serta menunaikan kewajibannya atas orang lain dan orang banyak sepanjang waktu. Dalam konteks itulah, salah satu temuan Lembaga Survei Indonesia pada 8-20 September lalu memprihatinkan.
Menjawab pertanyaan, ”Bila pemilihan anggota DPR diadakan sekarang, siapa yang akan dipilih dari nama-nama berikut?”, lebih banyak calon pemilih yang terpesona popularitas dan kepesohoran ketimbang kompetensi kandidat. Di antara 10 pesohor dan 10 politisi yang diajukan, Ferry Mursidan Baldan, legislator berpengalaman dan diandalkan partainya, hanya dipilih oleh sekitar 0,1 persen responden, jauh di bawah suara yang diperoleh pesohor yang belum teruji, seperti Eko Patrio (5,6 persen) atau Marissa Haque yang meraih sekitar 5,2 persen.
Harapan Itu Masih Ada
Selama matahari terus bersinar, selama kita terus berjuang dan selama kita satu berpadu, masih ada harapan untuk memperbaiki kondisi bangsa. Jelang pemilu April 2009 esok yang akan diikuti oleh 38 Partai Politik Nasional dan 6 Partai Politik Lokal Aceh, kita berkesempatan untuk memilah dan memilih siapa saja wakil rakyat yang layak untuk menjadi anggota legislatif, mari kita pilih caleg yang benar-benar kita kenal dan memiliki integritas yang tinggi serta memiliki komitmen untuk memperjuangkan aspirasi umat. Karena sekali lagi perlu dicatat, bahwa jabatan-jabatan itu nantinya bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa.
Tatap tegaplah masa depan, tersenyumlah tuk kehidupan, dengan cinta dan sejuta asa, bersama membangun Indonesia. Pegangteguhlah kebenaran, buang jauh nafsu angkara, berjuang dengan jiwa dan raga untuk tegaknya keadilan.
Berjuanglah bangsaku jalan itu masih terbentang...
Bangkitlah negeriku harapan itu masih ada...
Ade Machnun S, Alumni PPMI Assalaam-Surakarta, Mahasiswa Fak.Syariah Unv. Al-Ahgaff tingkat IV