"Ulama adalah pewaris para Nabi," begitulah cuplikan dari hadis Nabi
yang masyhur di kalangan penuntut ilmu. Dari sisi meneruskan,
mengenalkan dan membawa umat manusia menuju Allah Swt.
Namun, Imam Al-Ghazali juga membagi ulama menjadi dua; ulama dunia dan ulama akhirat. Bahkan Sayidina Umar bin Khattab r.a, juga mengatakan mengenai ulama dunia, "Jika kau melihat orang alim yang cinta dunia, maka berhati-hatilah dan teliti lagi dalam agamamu."
Imam Al-Ghazali, dalam salah satu kitabnya menyebutkan beberapa tanda ulama akhirat, di antaranya;
1. Mengajar dan membawa umat kepada Allah tanpa ada tujuan untuk mencari keduniaan berupa pangkat, jabatan maupun kekayaan. Keduniaan yang remeh tak bisa dibandingkan dengan nikmat dan kekekalan akhirat.
Imam Hasan r.a, mengatakan, "Bencana bagi ulama adalah matinya hati, dan matinya hati itu ditandai dengan mencari keduniaan dengan amal agama." Karena, jika seseorang tidak tau dengan kefanaan dunia, kemungkinan besar dia tidak meyakini ayat-ayat Al-Qur'an. Lalu bagaimana bisa orang yang tidak yakin dengan Al-Qur'an menjadi ulama?
2. Menjadi orang pertama yang mengamalkan apa yang diajarkan dan menjadi orang pertama juga yang meninggalkan larangan yang disampaikan. Hal ini juga selaras dengan firman Allah di dalam Al-Qur'an:
ÃóÊóÃúãõÑõæäó ÇáäøóÇÓó ÈöÇáúÈöÑøö æóÊóäúÓóæúäó ÃóäúÝõÓóßõãú æóÃóäúÊõãú ÊóÊúáõæäó ÇáúßöÊóÇÈó ۚ ÃóÝóáóÇ ÊóÚúÞöáõæäó
Artinya:
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?
(QS. Al-Baqarah : 44)
3. Kesibukan dalam ilmu hanya bertujuan untuk menambah kecintaan akan ketaatan dan memalingkan dari cinta dunia dan hal-hal yang menimbulkan perdebatan.
4. Tidak tertarik dengan kemewahan pakaian, tempat tinggal ataupun makanan. Imam Al-Ghazali mengatakan, "Setiap orang yang mengurangi hal-hal yang dibolehkan dalam syariat seperti makan, minum, tidur dll, maka akan bertambah kedekatan kepada Allah dan semakin tinggi derajatnya di kalangan ulama akhirat."
5. Menjauhi pergaulan dengan orang-orang pemerintahan dan tidak suka berdekatan maupun mendatangi mereka. Imam Ibnu Majah meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad saw, bersabda, "Seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mendatangi pemerintah dan raja, dan sebaik-baik pemerintah dan raja adalah mereka yang mau datang kepada ulama."
Bahkan sebagian ahli hikmah dengan keras mengkritik ulama yang dekat dengan umara. "Lalat yang hinggap di kotoran itu lebih baik daripada ulama yang berada di pintu istana kerajaan," begitu kurang lebihnya.
6. Tidak mudah berfatwa.
Pada zaman sahabat dan ulama terdahulu memang berfatwa menjadi hal yang sangat dihindari karena ketakwaan mereka kepada Allah, sehingga menghindari berfatwa lebih dipilih daripada menfatwakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Sayidina Ibnu Mas'ud r.a, berkata, "Orang yang selalu menjawab setiap kali ditanya hukum adalah orang gila." Bahkan, Sayidina Abdullah bin Umar, salah satu sahabat yang meriwayatkan hadis nabi paling banyak, pada suatu waktu beliau ditanya mengenai sepuluh masalah agama, beliau hanya menjawab satu dan tidak menjawab yang sembilan karena mengakui ketidaktahuannya.
7. Lebih mementingkan ilmu tentang cara memperbaiki hati, menuju akhirat dan cara mendekatkan diri kepada Allah. Itu semua bisa didapatkan dengan mujahadah (bersungguh-sungguh). Karena mujahadah adalah awal dari musyahadah (penglihatan).
Oleh : Muhammad Futuhal Arifin
(Mahasiswa tingkat 3, Fakultas Hadis dan Ilmu Hadis)