( Sebuah wawancara dengan Dr. Amjad Rosyid Al Maqdisi, Kepala Bidang
Fiqh dan Ushulnya di Fak. Syariah Universitas Al Ahgaff ) (Bagian I)
Term maslahat, sampai sejauh ini masih menjadi salah satu fitur Syariat yang terus diperbincangkan oleh banyak intelektual muslim, bahkan tak jarang perbincangan tersebut memicu perdebatan yang pelik. Hal itu disebabkan karena sebagai fitur syariah, mashlahah mengemuka dan akrab dengan kebiasaan manusia sekaligus menjadi tuntutan akal dari satu sisi dan merupakan garis syariat yang mengawal fitrah manusia yang bersifat transenden di sisi yang lain. Salah satu intelektual muslim yang controversial dalam menginterpretasikan term maslahat antara lain adalah Najmuddin At-Thufi. Cendekiawan asal Baghdad iraq ini dengan berani menempatkan mashlahah di seberang Nash dan Ijma' sehingga memungkinkan maslahat gentayangan dalam setiap af'alul ibad sejauh itu sesuai dengan akal dan kebiasaan.
Untuk mengetahui apa itu maslahat dan dinamikanya dalam syariat, sekaligus membincang pemikiran Najmuddin At Tufi yang sempat menggegerkan itu, kami (KM) berhasil mewawancarai Dr. Amjad Rosyid Al Maqdisi (Dr), Ketua bidang Fikih dan Ushulnya di Fak Syariah wa Al Qonun Universita Al Ahgaff Tareem Hadhramaut Yaman. Berikut petikan wawancaranya.
KM: Dalam diskursus ushul fiqih, seringkali term "al-maslahat" dijadikan sebagai dalil sandaran hukum-hukum fikih praktis. Sebenarnya, bagaimana pandangan para pakar ushul tentang maslahat? Dan sejauh mana otoritas akal dalam mempersepsi maslahat sebagai pertimbangan istimbath hukum?
Dr: Term maslahat menurut ulama ushul seperti yang diungkapkan Al Gzahali dalam kitabnya Al-Mustshfa adalah menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Lebih jelasnya beliau berkata begini "yang saya maksudkan bukan maslahat zhahir yaitu menarik suatu manfaat dan menolak kemudharatan, karena itu merupakan tujuan seluruh manusia dalam mencapai apa yang mereka inginkan, akan tetapi yang saya maksudkan dengan maslahat adalah menjaga tujuan syariat. Adapun tujuan syariat ada lima, menjaga agama (hifdzuddin), menjaga jiwa (hifdzunnafs), menjaga akal (hifdzulaql), menjaga keturunan (hifdzunnasl), dan menjaga harta (hifdzulmal). Dari sini, maka segala sesuatau yang mengandung penjagaan terhadap lima asas tersebut disebut maslahat, sebaliknya segala sesuata yang menghilangkan lima prinsip dasar syariat ini disebut mudharat dan menolaknya merupakan kemaslahatan. (Volume I:286-287).
Apabila yang dimaksud dengan maslahat adalah substansi dari maslahat tersebut secara literal yang berarti kenikmatan yang diperoleh oleh manusia seperti nikmatnya memahami suatu masalah yang sulit, atau nikmatnya merasakan hidangan yang lezat. Maka dalam hal ini tidak dapat diragukan bahwa akal manusia dapat mengetahui maslahat dan dapat membedakannya dari mudharat yang berarti kesengseraan.
Akan tetapi jika yang dimaksud dengan maslahat tersebut secara definitif dalam kajian ushul fiqih seperti yang dipaparkan Al-Ghozali yang telah saya jelaskan tadi, maka otoritas akal mempunyai keterbatasan dalam mempersepsi maslahat itu sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. pada hambaNya. Posisi akal pada level ini "paling banter" hanya dapat mengetahui sesuatu hal yang termasuk maslahat atau mudharat dalam tataran spekulatif. Untuk menentukan sesuatu bahwa ia termasuk maslahat atau bukan yang sekiranya dapat menghasilkan pujian atau celaan, pahala atau dosa secara syar’i, itu semua di luar jangkauan kapasitas akal. Karena kita hanya dapat mengetahui hal itu semua, melalui pemberi pahala atau dosa, yaitu Allah SWT.
Untuk lebih jelasnya, maslahat seperti yang disebutkan Izzuddin bin Abdussalam terbagi menjadi dua: hakiki yang terrepresentasi dalam hal-hal kesenangan, kelezatan. Kedua, mazaji yang terrepresentasikan dalam sebab-sebab dari maslahat hakiki tersebut. Demikian halnya mudharat juga terbagi menjadi dua: hakiki seperti halnya rasa sakit, dan majazi, yang merupakan penyebab rasa sakit itu.
Izzuddin bin Abdussalam berkata terkadang suatu mudharat dapat menghasilkan kemaslahatan, sehingga mudharat tersebut diperbolehkan atau diperintahkam untuk mengerjakannya. Akan tetapi kebolehan dan perintah tersebut bukan karena kemadharotannya secara esensial, melainkan karena dipandang mudharat tersebut menjadi penyebab dari adanya kemaslahatan tertentu. Misalnya: mengamputasi organ tubuh yang dapat menularkan penyakit kesuluruh tubuh sebagai bentuk penjagaan terhadap keberlansungan hidup, mempertaruhkan nyawa dalam berjihad, begitu juga seluruh bentuk hukuman-hukuman yang diterapkan dalam syariat, kesemuanya itu diperintahkan bukan karena kemudharatannya, akan tetapi lebih dipandang pada kemaslahatan yang terkandung dibalik semua itu, hukuman potong tangan bagi pencuri, atau perampok, hukuman qisas, rajam, cambuk, atau pengisolasian (taghrib) bagi orang yang berzina, hukuman yang berupa ta'zir, keseluruhannya termasuk mudharat yang diperintahkan oleh syariat, demi untuk meralisasikan kemaslahatan. Pemberian term madharat bagi sampel yang saya sebutkan tadi hanya secara majas yang sering disebut, tasmiyatussabab bismil musabbab, penamaan sebab dengan factor yang menjadi penyebab.
Mungkin juga suatu maslahat dapat menyebabkan pada kemudharatan, sehingga syariat melarang sebab-sebab tersebut bukan karena dipandang sebagai maslahat, akan tetapi karena kemaslahatan tersebut justru akan mendatangkan kemudharatan. Misalnya, penyebab kelezatan yang diharamkan syariat, kemewahan yang dihasilkan dengan cara meninggalkan kewajiban-kewajiban, kesemuanya dilarang karena menjadi penyebab dari suatu kemudharatan, pemberian nama mudharat bagi maslahat tersebut hanya secara kiasan.
Maslahat dan mudharat kiasan tadi yang dapat menimbulkan pujian atau celaan, pahala atau dosa yang telah ditentukan oleh syariat. Sedangkan maslahat dalam pandangan akal manusia –dari segi etimimologis maslahat atau maudharat- bertolak belakang dengan apa yang telah digariskan oleh syariat, seperti yang tampak dari contoh-contoh tadi.
Ketentuan syariat seperti ini disebabkan karna Allah SWT mengetahui bahwa dengan syariat itu akan terealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Karena dimensi hukum syariat berorientasi pada kemaslahatan dunia dan akherat. Artinya bahwa seluruh hukum syariat tidak hanya di pandang sebagai kemaslahatan duniawi semata, melainkan lebih memandang apa yang akan dihasilkannya di akhirat nanti. Dari sini, karena hidup dunia merupakan jalan untuk menuju akhirat, maka menjadi keniscayaan syariat untuk memperhatikan maslahat duniawi, akan tetapi hanya sebatas sebagai pelengkap (tabaan) bukan secara outentik (ashalatan). Disinilah letak urgensi syariah dalam mengatur kemaslahatan duniawi. Karena syariah mengkorelasikan maslahat duniawi dengan maslahat ukhrawi, agar apa yang dikerjakan oleh manusia di muka bumi ini yang dianggapnya sebagai maslahat, menjadi sebuah maslahat yang benar-benar hakiki dan akan menjadi penyelamat baginya di ahkirat nanti. Dengan demikian, orang yang berakal sehat tidak akan mementingkan dan mencari kesenangan yang bersifat temporal (dunia) dan mengorbankan kesenanagan yang abadi (akhirat).
Ringkasnya, bahwa syariat menganggap suatu yang terpuji di kemudian hari. Sehingga sebuah mudharat -menurut akal atau kebiasaan- dinggap remeh dibandingkan dengan maslahat dibelakang mudarat. Sebaliknya suatu maslahat -menurut rasio atau kebiasaan- dianggap sebagai mudharat dengan memandang hasil yang tercela dikemudian hari, sebuah maslahat -menurut akal atau kebiasaan- dinggap remah dibandingakan dengan mudarat dibelakang maslahat tersebut.
Dan apabila argument syar’i dapat dipahami dengan benar, kita akan mengetahui bahwa seluruh hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah SWT tidak ada yang terkontaminasi dengan kemudaratan, seperti yang disebutkan oleh imam syathibi dalam kitabnya Al Muwafaqot: "Apabila syariat dalam menetapkan suatu hukum memandang dan memperhatikan maslahat manusia di dunia dan ahkirat, dan menjadikan maslahat uhkrawi sebagai landasan dan pijakannya, maka tidak ada jalan bagi manusia untuk mengetahui maslahat mereka di dunia dan ahkirat kecuali melalui wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabinya karena syariat yang menetapkan dan menetukan maslahat tersebut. Sedangkan akal tidak dapat menentukan secara spesifik diantara maslahat-maslahat yang ada. Batas maksimal yang dapat dilakukan oleh akal adalah menghukumi masalah “A” sebagai maslahat atau mudarat secara spekulatif karena tidak ada yang dapat mewajibkan atau memustahilkan masalah ”A” untuk menjadi maslahat atau mudarat, akan tetapi untuk menentukan salah satu diantara keduanya akal memerlukan dalil penguat (murajjih), dan bagi kita sebagai orang muslim maka murrajih itu adalah syariat ".
Mungkin saya dapat lebih menjelaskannya dengan sebuah contoh, kenikmatan bersetubuh yang dirasakan manusia dengan cara berhubungan di luar nikah, akal dapat mengatakan bahwa itu sebuah maslahat, akan tetapi jika dilihat dari apa yang akan ditimbulkan perbuatan itu dari mudharat-mudharat, seperti: percampuran nasab atau keberadaan anak-anak yang tidak mempunya ayah, akal juga dapat mengatakan bahwa ini sebuah kemudaratan -dipandang dari sisi ini- dan mungkin kita akan temukan orang-orang yang mengaku berakal menolak untuk menyebut semua ini sebagai mudarat, bahkan mereka mengatakan bahwa ini merupakan suatu maslahat -dipandang dari sisi pertama tadi-, perbedaan ini sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Oleh sebab itu syariat datang yang lebih mengetahui maslahat sesuatu atau kemudaratannya di dunia dan ahkirat, kemudian dia menetapkan bahwa pencapaian kenikmatan dengan cara yang saya jelaskan tadi sebuah mudharat yang tercela dan mempunyai konsekuensi di hadapan pencipta alam semesta. Hukum syariat yang saya jelaskan ini tidak kontras dengan hukum akal, karena akal tidak menganggap mustahil hukum yang ditetapkan syariat, seperti yang saya jelaskan tadi.
Kemudian anda dapat menganalogikan contoh tadi dengan contoh-contoh lain, yang terdapat perbedaan pendapat antara manusia pada suatu masalah apakah dia merupakan maslahat atau mudarat -dipandang dari hukum akal atau kebiasaan manusia- seperti menguburkan bayi hidup-hidup yang dilakukan masyarakat jahiliah, berbagai bentuk transaksi bisnis yang menjadi perbedaan pendapat antara manusia, apakah transaksi ini maslahat atau bukan, asas dari perbedaan ini adalah karena hukum akal dan kebiasaan merujuk keadaan hawa nafsu manusia dalam menetapkan sesuatu apakah termasuk maslahat atau bukan, sedangkan syariat dalam menentukan keduanya memandang pada kontribusi keduanya di dunia untuk menopang ahkirat, tidak menuruti hawa nafsu untuk mencapai maslahat atau mudharat. Seperti yang diungkapkan As Syatibi dalam Al Muwafaqot
Oleh karena itu, seluruh maslahat dunia dan ahkirat juga termasuk sebab-sebabnya yang diakui oleh syariat tidak dapat diketahui kecuali melalui syariat, sebagaimana yang diungkapkan Izzuddin bin Abdussalam dalam karangannya Qowaid Al Kubro, lebih lanjut dia berkata " Apabila suatu maslahat tidak tampak, maka cara untuk mengetahuinya adalah dengan kembali pada dalil-dalil syariat alquran, hadis, ijma’, qiyas, dan istidlal".
As Syatibi dalam Muwafaqot menguatkan argument ini "sebuah maslahat yang dijadikan pijakan suatu hukum hanya dapat diketahui melalui syariat, begitu juga dengan mudarat. Kalau tidak melalui syariat, maka akal dapat memberi hukum yang kontras dengan hukum syariat. Karena segala sesuatu pada mulanya sama dan akal tidak menentukan baik buruknya, kemudian syariat yang menetapkan baik buruknya sesuatu, lalu akal akan mempercayai apa yang ditentukan oleh syariat, bahkan sesuatu dapat dikatakan bahwa ia maslahat secara aksiomatik (ta'abbudy).
Maka seperti yang saya jelaskan, dalam memahami suatu maslahat kita wajib mengaitkan antara maslahat dunia dan ahkirat, karena jika pandangan kita hanya terbatas pada dunia saja kemudian kita mengenyampingkan yang uhkrawi, itu suatu kebodohan, apa arti dari kesenangan sesaat yang akan diperolaeh manusia di dunia ini dibandingkan dengan kesengsaraan abadi di ahkirat.
KM: Apakah hukum Islam dirumuskan dengan pertimbangan kemaslahatan manusia?
Dr: parhatian syariat pada maslahat maslahat adalah suatu kenyataan yang tidak dapat kita pungkiri, dan hal itu merupakan karunia dan kemurahan Allah pada hambaNya. Siapa pun yang membaca Alquran akan mendapati kebenaran itu (baik dalam masalah ushul atau furu’), seperti yang difirmankan tentang pengutusan Rasul-rasul "(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu" (QS. An-Nisa: 165), juga firmanNya "Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (QS. Al Anbiya: 107), firmanNya setelah menerangkan wudhu’"Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu" (QS. Al Maidah: 6), firmanNya tentang solat "sesungguhnya sholat itu mencegah dar (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar" (QS. Al Ankabut: 45), firmanNya tentang Qishas "dan dalam Qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal" (QS. Al Baqarah: 179), dan yang lainnya.
Al Imam shulthanul ulama Izzuddin bin Abdussalam dalam kitabnya Qowaidusshughra mengatakan "siapa saja yang sering bergumul dengan Al-Quran dan Hadis dan memahami tujuan keduanya dia akan mengetahui bahwa seluruh yang diperintahkan kepada kita hanyalah untuk menarik maslahat atau menolak mudarat, atau untuk keduanya, dan seluruh yang dilarang untuk dikerjakan hanyalah untuk menolak mudarat atau menarik maslahat atau keduanya, Syariat penuh dengan semua ini."
KM: Apakah maslahat dapat dikategorikan sebagai dalil yang independen, dalam arti sejajar dengan Al-Quran dan hadis?
Dr: Terkadang maslahat dapat dilihat dari segi tujuan suatu hukum tertentu. Maslahat yang seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai dalil. Karena setiap hukum yang mengandung maslahat ditetapkan dengan dalil tertentu, bukan dengan maslahat itu sendiri. Pada level ini, maslahat yang terkandung dalam hukum tidak dapat dikatakan sebagai dasar pencetusan hukum, apalagi disebut sebagi dalil yang independen.
Akan tetapi bila dipandang dari segi titik tolak sebuah hukum (manatul hukmi) maslahat merupakan dalil hukum tertentu. Hal ini dapat diketahui dari pembahasan para ulama Syafiiyah dalam bab qiyas yang mengungkapkan bahwa suatu hukum dapat ditetapkan dengan illat, bukan dengan nash seperti yang dikemukakan ulama Hanafiah. Akan tetapi hal itu tidak menjadikan maslahat sebagai dalil yang independen dari teks-teks keagamaan yang ada. Karena sebuah illat diambil dari nash itu sendiri, baik secara eksplisit yang tersurat dalam nash, atau dengan cara ijtihad yang bermuara pada dalil-dalil nash, seperti yang saya sebutkan tadi bahwa maslahat ditetapkan melalui dalil-dalil syariat, sedangkan dalil-dalil itu bermuara pada nash-nash.
Ringkasnya, bahwa suatu maslahat dianggap sebagai dalil yang independen atau bukan, atau bahkan bukan termasuk dalil sama sekali, sebenarnya tidak mempunyai substansi yang signifikan. Akan tetapi yang perlu kita ketahui bahwa suatu maslahat tidak dapat dianggap legal secara syar'i dan mempunyai otoritas dalam penetapan sebuah hukum, kecuali dengan metodologi yang legal pula, yaitu penetapan maslahat tersebut bersumber dari nash-nash. Dan untuk menetapkan suatu maslahat sebagai illat atau pijakan hukum harus sesuai dengan syarat-syarat yang digariskan para ulama ushul dalam syarat-syarat illat di pembahasan bab qiyas yang bisa dibilang pembahasan yang cukup rumit. Bahkan penetapan ini menjadi ajang perdebatan para mujtahidin dan ulama-ulama ushul fiqih.
Diantara syarat-syarat penting yang harus diperhatikan seorang mujtahid dalam mencetuskan sebuah illat dan menjadikannya sebagai dasar sebuah hokum adalah illat tersebut harus memiliki sinergi atau tidak terjadi kontradiksi dengan nash-nash yang ada, dan juga illat tersebut tidak menegasi pada hukum asal yang diistimbatkan melalui illat tersebut. Jika syarat itu tidak diperhatikan, maka iilat tersebut dianggap tidak sah, konsekwensi logisnya akan menjadikan illat itu sebagai landasan hukum tidak sah pula, karena dengan demikian berarti dalam penetapan illatnya telah ditunggangi kepentingan lain.
Kesimpulannya maslahat yang dapat diaanggap sebagai dalil suatu hukum -menurut consensus pakar ushul fiqih- adalah maslahat yang sesuai dengan syarat-syaratnya. Dalam tataran ini, penggunaan maslahat sebagi dalil suatu hukum termasuk dalam pembahasan qiyas dengan menganalogikan hukum far'i (cabang) kepada hukum ashly (pangkal). Menurut konsensus para pakar ushul bahwa metodologi qiyas seperti ini mempunyai otoritas dalam pengambilan suatu hukum.
Sedangkan maslahat yang tidak terpenuhi syarat-syaratnya, maka penetapan hukum dengan pijakan maslahat tersebut bukan termasuk dalam diskursus qiyas, akan tetapi penggunaan maslahat pada level ini termasuk penggalian hukum melalui metodologi yang sering disebut dengan Al-Maslahah Al-Mursalah. Metodologi ini lebih dikenal dalam madzhab Malikiyah. (Nawa)
Bersambung..