Kekhawatiran terhadap suatu hal tanpa indikasi yang kuat tidak akan
dilakukan oleh seseorang yang memiki akal sehat. Misalnya, ketika berada
di sebuah gedung yang kokoh dan tidak ada tanda-tanda kerusakan apapun,
kita akan merasa aman-aman saja tanpa ada kekhawatiran gedung tersebut
akan roboh seketika. Bahkan sebaliknya, jika seseorang lari meninggalkan
genung tersebut dengan dalih bahwa ada kemungkinan bahwa gedung
tersebut akan roboh, maka siap-siap saja ia akan menjadi bahan tertawaan
orang-orang di sekelilingnya.
Begitu pula tentang keberadaan masyarakat muslim yang hidup di tengah-tengah kemajemukan penduduk suatu Negara. Keberadaan mereka justru sebagai barometer keamanan dan ketentraman Negara tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Tentu, apa yang dinilai oleh “dunia” dan yang mereka inginkan justru sebaliknya. Yaitu, membangun mindset negatif tentang masyarakat muslim kepada seluruh masyarakat dunia. Sehingga muncullah istilah islamophobia yang merupakan ulah tangan motorik “dunia” itu sendiri.
Kebanyakan dari mereka membangun kekhawatiran dari sebuah indikasi yang sangat lemah bahkan tidak sah untuk dijadikan landasan untuk menghukumi masyarakat muslim itu sendiri. seperti menghukumi semua masyarakat muslim di dunia melalui segelintir kelompok radikalisme yang mengatasnamakan ajaran islam untuk mensukseskan misi politik maupun invasi ekonomi. Padahal, apa yang mereka lakukan justru sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam itu sendiri. lalu, mengapa kelompok minoritas tersebut justru menjadi icon Islam saat ini? Ya, tentunya ada campur tangan “dunia” di sini yang sengaja memunculkan mereka lewat media dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia.
Jika Indonesia mempunyai slogan “Bhineka Tunggal Ika”, maka slogan tersebut sangat sesuai dengan ajaran Islam. Karena, Islam datang dengan misi menghilangkan jurang pemisah antara suku, adat dan daerah. Karena, di sisi Allah SWT mereka yang mulia adalah yang paling bertakwa kepada-Nya. “…Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa (QS: al-Hujurat; 13)
Adapun dalam hal hubungan sosial kemasyarakatan dengan pemeluk Non-Muslim, Islam menganggap hal tersebut sebagaimana ketika kita bermuamalah dengan sesama Muslim. Seperti jual beli, saling sapa, bertetangga, dsb. Sedangkan dalam urusan agama, kita sebagai seorang Muslim tidak diperbolehkan memaksa mereka untuk memeluk Islam. Tugas kita adalah memberikan gambaran rahmat dalam Islam dan mengajak mereka dengan cara yang santun jika kita mampu melakukannya. Karena, hidayah yang merupakan inti dari persoalan agama Islam hanya milik Allah SWT yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki.
Selain itu, sejarah mengukir bahwa empat belas kurun silam, saat Madinah menjadi pusat negara Islam pertama, Rasulullah SAW sebagai pemimpin tertinggi saat itu membentuk beberapa undang-undang yang harus dipatuhi oleh masyarakat Madinah, baik masyarakat Muslim maupun masyarakat Yahudi Madinah. Undang-undang ini bisa dikatakan pertama kalinya dalam sejarah kemanusian yang mengatur hubungan antara masyarakat suatu Negara yang memiliki latar belakang agama yang berbeda. Mereka diberikan hak yang sama dalam hal kewarganegaraan dan kewajiban yang sama dalam menjaga keutuhan negara. Sehingga terciptalah suasana bermasyarakat yang harmonis dan rukun sampai akhirnya masyarakat Yahudi membelot dan memilih untuk berkhianat terhadap Negara.
Bukan hanya itu saja, jika kita gali sejarah peradaban dunia, kita akan menemukan bahwa negara Islam adalah Negara yang paling sukses dalam merealisasikan kerukunan dalam kemajemukan masyarakat di belahan dunia manapun. Sebagaimana masa-masa pemerintahan Islam di Eropa, Jazirah Arab, Asia Tenggara maupun belahan dunia lainnya yang pernah tersentuh oleh sistem pemerintahan Islam. Mereka memberikan kebebasan bagi para pribumi yang bukan beragama Islam untuk tetap melakukan ritual keagamaan mereka masing-masing. Terlepas dari keberadaan masyar
akat Muslim itu sendiri yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan persatuan di tengah-tengah sebuah perbedaan.
Justru sejarah kelam akan kita temui saat pemerintahan dikuasai oleh sebagian penguasa kafir yang melakukan pembantaian tanpa belas kasih. Sebagaiamana invasi yang dilakukan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Genghiz Khan dan Hulagu Khan ke Baghdad dan kota-kota Islam saat itu. Pembantaian secara bengis terhadap masyarakat Muslim dan perusakan secara besar-besaran terhadap segala bentuk warisan Islam merupakan salah satu sejarah kelam yang diukir oleh mereka di kota Baghdad khususnya. Begitu pula pembantaian yang dilakukan oleh pasukan salib terhadap masyarakat Muslim di Spanyol yang berakhir di Granada tanpa menyisakan rasa kemanusian. Bahkan beberapa waktu setelahnya, masyarakat Muslim dipaksa murtad dengan ancaman jika menolak akan disiksa dan dilenyapkan nyawanya.
Untuk itu, selama masyarakat Muslim menjadi bagian dari sebuah negara baik dominan maupun tidak, pemerintah tidak perlu khawatir terjadinya konflik antar agama. Tentunya dengan berpegang terhadap asas saling menghormati dan menghargai antar sesama. Namun sangat disayangkan sekali, karena saat ini kekhawatiran tersebut justru keluar dari mulut salah satu masyarakat Muslim sendiri. Ia khawatir keberadaan saudara-saudara seimannya akan mengancam keamanan masyarakat Non-Muslim. Sehingga, berbagai cara ia lakukan untuk memberikan jaminan keamanan dan ketentraman kepada masyarakat Non-Muslim dari ancaman masyarakat Muslim. Mulai dari menyorakkan paham pluralisme dalam agama yang bermakna bahwa umat Islam harus meyakini bahwa semua agama benar, agar tidak menyakiti masyarakat Non-Muslim. Tidak cukup sampai disitu, ia pun memunculkan paham sekularisme yang bermakna memisahkan urusan agama dari aktivitas sosial kemasyarakatan dengan tujuan agar agama tidak membahayakan urusan Negara. Dan paham-paham lainnya yang tidak jelas arah dan tujuannya.
Sudah saatnya bagi umat islam untuk kembali kepada ajaran Islam dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Menciptakan islam yang rahmatan lil alamin dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana yang dicontohkan oleh nenek moyang kita yang sukses dalam menciptakan Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika tanpa membeda-bedakan ras, suku, budaya bahkan agama dalam kehidupan bermasyarakat. Karena, bertetangga dan berdampingan di balik sebuah perbedaan merupakan ciri khas khazanah Islam dan Khazanah Indonesia. Wa Allahu A’lam.
Oleh: Muhyidin Abror (mahasiswa tingkat akhir Universitas al Ahgaff)