Diakui atau tidak, kajian tasawuf dalam Islam telah menarik perhatian banyak kalangan. Itulah sebabnya, kesimpulan perihal jatidiri tasawuf nyaris tak pernah tunggal. Para filosof menafsirkan tasawuf sebagai fenomena yang mampu merasionalkan nilai – nilai secara intuitif. Sedangkan sosiolog dan antropolog, cenderung memandang tasawuf sebagai fenomena sosial, mengingat pisau analisa yang digunakan adalah aspek material ansich.
Di kalangan banyak pemikir kontemporer, tasawuf juga sering diasumsikan sebagai pemicu utama stagnansi dalam tubuh umat Islam. Anggapan ini mungkin timbul dari kecenderungan berislam segelintir kaum sufi yang terkesan pasif : mengerahkan jiwa raganya secara totalitas untuk beribadah sembari menafikan sesuatu selain-Nya. Ironisnya, tasawuf, secara tidak langsung, lantas dituduh sebagai penyebab kemunduran umat Islam di berbagai aspek.
Lantas, dimanakah peran tasawuf dalam membentuk jatidiri umat Islam ? bahkan lebih jauh lagi, sejauh manakah tasawuf memberikan andil dalam membangun peradaban manusia ?
Berangkat dari problematika itulah, pada Senin (17/12), Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hadhramaut PPI Yaman, menggelar seminar ilmiah bertajuk “Tasawuf : Perannya dalam Membangun Peradaban dan Agama”. Acara yang dihelat di Auditorium Fak. Syariah wal Qonun Universitas Al-Ahgaff, Tarim tersebut berjalan sukses atas kerjasama PPI Yaman, PCINU Yaman, Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) Al-Ahgaff, dan Jam’iyyah Wahdatul Iman. Dua narasumber yang dihadirkan adalah Ulama asli putra Tarim ; Dr. Muhammad bin Abdul Qadir al-Idrus dan Habib Zaid Abdurrahman bin Yahya. Acara dimulai tepat pukul 20.30 KSA dengan dimoderatori M. Mahrus Ali, mahasiswa tingkat empat asal Pamekasan, Madura.
Terkait istilah terminologi, istilah tasawuf pada dasarnya tidak ada bedanya dengan istilah-istilah ilmu yang lain. Seperti fikih, tafsir, hadits, dll. Pada permulaan Islam, istilah – istilah tersebut juga belum dikenal, namun tidak dikenalnya istilah tersebut tidak kemudian divonis sebagai sesuatu yang sesat. Karena sejatinya, istilah tasawuf adalah nama baru untuk sesuatu yang ada sejak dahulu (ismun jadid limusamman qadim).
“Tasawuf pada dasarnya adalah upaya pengamalan Ihsan yang merupakan salah satu pilar agama yang disebutkan dalam hadits Jibril”, cetus Habib Zaid. “Maka ketika ada yang bertanya kapan tasawuf masuk ke Hadhramaut. Saya tegaskan, tasawuf masuk bersamaan dengan masuknya Islam ke negeri ini”, tambah pemimpin An-Nur Center for Studies and Research, Tarim tersebut.
Lantas, sejauh manakah peran tasawuf dalam membentuk jatidiri umat Islam serta peradaban manusia ?. “Sejarah telah membuktikan secara nyata hal ini !”, kata Habib Zaid yang pertengahan tahun 2011 lalu menjadi pembicara di Multaqo Sufi Internasional, di markas PBNU, Jakarta.
Salah satunya, kata Habib Zaid, adalah supremasi kegemilangan umat Islam ketika mampu merebut Yerusalem dari tangan pasukan Salib. Bagi Habib Zaid, kemenangan pasukan Islam pimpinan Salahuddin Al-Ayyubi kala itu, merupakan representasi nyata dari kebangkitan spiritual mereka. Hal tersebut tidak lepas dari kehadiran Ihya Ulumuddin yang ditulis Imam al-Ghazali.
Secara umum, peran dan andil tasawuf setidaknya bisa dijabarkan dalam beberapa aspek. Dalam ranah yang paling sederhana, tasawuf memiliki peran membentuk manusia yang memiliki moral yang tinggi serta pribadi mukmin yang kuat yang tidak takut kecuali kepada Allah. Sedangkan dalam skala yang lebih luas, tasawuf telah memainkan perannya dalam menciptakan masyarakat yang beriman yang mampu menghadapi seluruh tantangan-tantangan kehidupan.
Selain itu, orientasi spiritual yang diajarkan tasawuf, dinilai ampuh untuk menyelamatkan masyarakat dari bahaya materialisme dan ekstrimisme yang muncul akibat mereka menjauh dari agama serta kedangkalan mereka di dalam memahami teks – teks syariat. Dan yang tak boleh dilupakan, imbuh Habib Zaid, adalah andil tasawuf dalam penyebaran Islam di muka bumi.
Di India misalnya, para kaum sufi dinilai berhasil membumikan ajaran Islam tanpa harus menggunakan cara kekerasan. Fakta ini diakui sejumlah tokoh orientalis, seperti Masinouns.
Orientalis asal Prancis itu berkata, “Sesungguhnya Islam tak pernah tersebar di India melalui jalur perang, melainkan melalui jasa para kaum sufi melalui tarekat – tarekatnya.”
Bagi Masinouns, hal itu disebabkan karena keharmonisan sosial antara mayoritas (dalam hal ini pemeluk Hindu) dan minoritas tak akan pernah terajut mesra kecuali dengan usaha keras para sufi yang berjuang ikhlas tanpa pamrih. Hal yang serupa juga terjadi di kawasan benua Afrika seperti Senegal, Mali, Nigeria, dan Ghana. Tentu sudah maklum, bahwa sejumlah negara tersebut adalah mercusuar perkembangan sejumlah tarekat sufi, sebut saja at-Tijaniyah, as-Sanusiyah, dan as-Syadziliyah.
Setelah narasumber pertama mengupas tasawuf secara panjang lebar, moderator M. Mahrus Ali memberikan kesempatan kepada narasumber kedua, Dr. Muhammad bin Abdul Qadir al-Idrus.
Tokoh yang saat ini menjabat sebagai Dekan (‘Amid) Fakultas Syariah wal Qanun Universitas Al-Ahgaff tersebut memfokuskan pemaparannya tentang prinsip – prinsip Ahlul Bait di Hadhramaut dalam berdakwah. Menurut Dr. Muhammad, prinsip – prinsip inilah yang harus diperhatikan oleh para dai dalam menyebarkan Islam. Mengabaikan prinsip tersebut, bagi ‘Amid, berarti meninggalkan hal yang fundamental dalam aktivitas dakwah. Dalam makalah yang ia tulis, sejumlah prinsip tersebut bisa dirangkum ke dalam tujuh poin.
Pertama, menghormati serta menjunjung tinggi dua kalimat syahadat. Prinsip ini meniscayakan tindakan seorang da’i untuk tidak mudah mengkafirkan, dan menyesatkan seseorang, selagi dia masih mengikrarkan dua kalimat syahadat. Menurutnya, tindakan mudah menyematkan status “musyrik” kepada saurada seiman, itu sama halnya dengan mencabik kesakralan dua kalimat syahadat.
Kedua, menghormati al-Kitab dan al-Sunnah dengan mempelajari dan mengajarkan serta dengan tidak membeda-bedakan diantara keduanya.
Ketiga, senantiasa mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya. ‘Amid menegaskan, bahwa Ahlul Bait Hadhramaut, baik dalam perkataan maupun perbuatan, selalu dilandasi spirit mengamalkan ilmu yang didapat. Dan inilah yang selalu menjadi dasar mereka dalam mendidik masyarakat. “Karena bagaimanapun, tindakan nyata lebih memberikan pengaruh daripada sekedar ajakan lisan,” tukasnya.
Keempat, mencintai Allah dan Rasulnya serta menyebarkannya di masyarakat. Hal tersebut, salah satunya, bisa dilakukan dengan membaca sejarah Nabi dan memperbanyak membaca sholawat kepada Nabi. Karena memupuk nilai cinta (mahabbah) kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah jalan untuk mengamalkan perintah dan larangan-Nya.
Kelima, memandang umat dengan penuh rahmah dan kasih sayang, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Rasulullah diutus adalah untuk menjadi rahmat untuk seluruh alam. Prinsip ini bisa diterjemahkan ke dalam aktivitas dakwah yang penuh rahmat, dan menjauhi tindakan anarkis.
Keenam, menjaga tradisi baik yang sudah berlaku di masyarakat. Dalam menerangkan prinsip ini, dosen jebolan Universitas Baghdad, Irak itu menjelaskan, bahwa seorang da’i tidak boleh serta merta memberangus tradisi baik yang ada di masyarakat tempat ia berdakwah. Ia juga mengingatkan, bahwa akulturasi terhadap tradisi adalah kebutuhan mutlak dalam dakwah. Menolak berkompromi dengan tradisi, sama halnya menjadikan aktivitas dakwah kekurangan gizi.
Prinsip yang terakhir, adalah menjauhi persaingan dalam ranah politik. Bagi mereka, persaingan di dalam perebutan kememimpinan seringkali menimbulkan perpecahan di antara umat. Oleh karena itu, perhatian mereka lebih ditujukan kepada hal yang lebih penting, yaitu dakwah kepada Allah.
Ketujuh prinsip dakwah inilah, imbuh ‘Amid, yang senantiasa dipegang teguh oleh para Ahlul Bait Hadhramaut dalam menebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Terbukti, salah satunya, masuknya Islam ke Indonesia melalui para Ahlul Bait Hadhramaut – yang populer dengan sebutan Walisongo – dapat diterima dengan baik oleh penduduk nusantara. (Dzul Fahmi)