Diskursus bid'ah adalah titik krusial perdebatan panjang antara kaum Sufi dan kelompok yang berseberangan dengannya.
Dari akar perbedaan pemahaman bid'ah, berkembang menjadi perbedaan pendapat yang berlarut – larut dalam legalisasi dan justifikasi syariah Islam terhadap berbagai bentuk baru manhaj tarbiyah, pembersihan diri, maupun bentuk pendekatan terhadap Allah Swt yang tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw dan para shahabatnya yang kemudian menjelma menjadi ciri khas kaum Sufi.
Pada dasarnya segenap ulama dari golongan manapun sepakat, bahwa term bid'ah apabila diucapkan tanpa disertai dengan sifat tertentu adalah mempunyai konotasi yang buruk. Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat (HR Muslim). Namun dalam lembaran sejarah pemikiran Islam, arus mainstream ulama' salaf tampak lebih berpihak terhadap legislasi bentuk – bentuk manhaj baru tersebut, seraya mengungkapkan berbagai bentuk penafsiran bid'ah yang dimaksud dalam hadits Nabi di atas, dan klasifikasi bid'ah menjadi lima sesuai dengan klasifikasi hukum taklifi dalam syariah Islam.
Sekapur Sirih Diskursus Bid'ah
Secara garis besar definisi – definisi yang diungkapkan oleh para ulama terbagi menjadi dua kelompok, berdasarkan indikator penentu "apakah suatu perbuatan termasuk dalam kategori bid'ah atau tidak" ( dalam etimologi mantiq klasik disebut fasl dari had ). Sebagian ulama memakai indikator "masa" dalam definisi bid'ah, semisal Imam Izzuddin ibn Abdissalam yang mendefinisikan bid'ah sebagai " perbuatan yang tidak dikenal pada masa Rasulullah Saw ". Definisi serupa diungkapkan oleh Ibn Al-Jauzy , Imam An-Nawawi, dan Imam Abu Syamah Al-Maqdisy meskipun dengan ungkapan yang berbeda. Sementara sebagian ulama' lain mendefinisikan bid'ah dengan indikator " sandaran hukum " , semisal Imam As-Subky yang mendefinisikan bid'ah sebagai " perkara baru yang tidak mempunyai sandaran hukum dalam syariah ( dalam hal ini Al-Qur'an dan Al-Hadits )". Semakna dengan definisi ini, adalah definisi bid'ah Ibn Hazm, yaitu: " setiap sesuatu yang tidak datang dari al-Qur'an ataupun Al-Hadits".
Pada perkembangan selanjutnya muncul penafsiran klasifikatif yang dipelopori oleh Imam Syafi'i, dengan mengklasifikasikan bid'ah menjadi bid'ah hasanah, yaitu segala pembaharuan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits, dan bid'ah sayyi'ah, yaitu segala pembaharuan yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Al-Hadits. Penafsiran Imam Syafi'i inilah yang diikuti oleh mayoritas ulama'. Lebih jauh Izzuddin Ibn Abdissalam mengembangkan klasifikasi ini menjadi lima kategori –sesuai dengan pertimbangan maslahah dalam perspektif syariah Islam: bid'ah wajib, yaitu pembaharuan yang bersifat urgen ( dharurah ), sebagaimana pembukuan Al-Qur'an, bid'ah sunnah, yaitu segala pembaharuan yang memuat nilai general kesunnahan tertentu, begitu juga bid'ah makruh, bid'ah haram, dan bid'ah mubah adalah segala pembaharuan yang sesuai dengan indikator kemakruhan, keharaman, dan ke-mubah-an yang dijabarkan secara general dalam syariah.
Namun demikian, penafsiran klasifikatif yang dianut oleh mayoritas ulama' ditentang oleh sebagian ulama' lain, seperti imam Asy-Syathiby, Imam Az-Zarkasy, Imam Ibn Rajab Al-Hanbaly, dan .Ibnu Taimiyah .
Bid'ah Menurut Asy-Syathiby
Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Lakhamy Asy-Syathiby Al-Gharnathy -sebagaimana yang telah disebutkan di atas- adalah salah satu diantara barisan ulama yang menentang pembagian term bid'ah dalam syariat Islam sesuai dengan klasifikasi hukum taklify. Dalam salah satu karya masterpiece Beliau "Al-I'tishom", term bid'ah menurut syariah beliau definisikan sebagai:"Thoriqoh dalam agama yang tercipta untuk menandingi syariat, dan dilakukan dengan tujuan berlebih – lebihan dalam beribadah kepada Allah Swt atau dijalani untuk mengganti thariqah syar'iyah". selanjutnya Beliau menyebutkan beberapa bentuk "tandingan" bid'ah terhadap syariah diantaranya;
• menetapkan batasan tertentu dalam beribadah, sebagaimana bernadzar puasa dengan berdiri tanpa duduk,
• Melazimi tatacara ataupun bentuk tertentu seperti berdzikir secara berjama'ah dengan satu suara, menjadikan hari kelahiran Rasulullah Saw sebagai hari raya,
• Melazimi ibadah tertentu dalam waktu tertentu, sebagaimana melazimi puasa dan qiyamullail dalam nisfu Sya'ban.dsb
Agaknya diantara faktor yang membuat Sang Imam bersikukuh dengan pendapatnya adalah ghirah beliau dalam mempertahankan otentitas Sunnah Nabawiyah, ketika berhadapan dengan fenomena ghuluw( keterlaluan ) dalam praktek beberapa bentuk kegiatan yang dianggap bid'ah hasanah . Sikap keras beliau dalam mempertahankan sunnah adalah meneladani keprihatinan beberapa shahabat ketika mensikapi beberapa fenomena yang muncul paska periode Rasulullah Saw. Diriwayatkan dari Ummi Darda': "(suatu ketika) Abu Darda' masuk dalam keadaan marah, kutanyakan:" Apa yang membuat engkau marah?, Beliau menjawab:" Demi Allah tidak aku melihat dari mereka sedikitpun dari teladan Muhammad, kecuali mereka semua masih melakukan sholat"
Secara panjang lebar, arah pemikiran ini Beliau jabarkan dengan mengungkapkan fakta – fakta ilmiyah serta mengkanter berbagai hujjah syar'i yang diungkapkan oleh pengikut madzhab "klasifikasi bid'ah". Kecakapan beliau dalam ilmu Ushul Fiqh sangat menunjang validitas dan akurasi dari argument – argument yang beliau ungkapkan. Kiranya dua poin berikut ini dapat memberi gambaran kita titik perbedaan pemikiran Beliau dengan "madzhab klasifikasi bid'ah":
Argumen Syar'i
Diantara argument syar'i yang memperkuat madzhab jumhur adalah:
• Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh sahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali:
قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: »من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء
Sebagaimana yang diutarakan Imam Nawawi dalam "syarah Shahih Muslim", bahwa hadits tersebut mentakhshish ( membatasi pengertian ) teks – teks hadits Nabi Saw yang yang mengisyaratkan kesesatan segala bentuk pentradisian baru.
• Adanya beberapa periwayatan hadits yang menjelaskan lebih spesifik bahwa yang termasuk dalam bid'ah yang terlarang adalah bid'ah dlalalah, diantaranya adalah sabda Rasulullah Saw berikut ini:
من ابتدع بدعة ضلالة، لا ترضي الله ورسوله، كان عليه مثل آثام من عمل بها، لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئاً
Spesifikasi bid'ah dalam teks hadits ini memberi pengertian bahwa "selain bid'ah dlalalah ( bid'ah hasanah)" boleh dilakukan
• Sayyidina Umar Ra menyebut pentradisian shalat tarawih 20 rakaat yang dilakukan oleh beliau sebagai "bid'ah yang baik ( ni'mat al-bid'atu hadzih )", sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian term bid'ah tidak selamanya berkonotasi negatif, karena bagaimanapun sangatlah mustahil seorang Sayyidina Umar merestui perkara yang dianggap sesat oleh Nabi Saw .
Berikut ini abstraksi jawaban Asy Syathibi terhadap beberapa argument tersebut:
• Mengenai hadits yang menerangkan bahwa segala tradisi baik akan diberi pahala, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tradisi baik di sini adalah bukanlah tradisi yang benar – benar baru. Hal ini dapat dijelaskan dari dua sisi;( 1) Kisah yang mendasari hadits tersebut ( sabab al-wurud ) , bahwa hadits tersebut diucapkan oleh Rasulullah Saw ketika melihat seorang sahabat anshar memelopori sahabat – shahabat lain untuk bersedekah dengan kadar yang banyak ( layak ), dan tidak sayang dengan hartanya. Dalam hal ini shahabat tersebut tidak mentradisikan sesuatu yang baru, bahkan yang ditradisikan shahabat tersebut adalah aplikasi kesunnahan bersedekah.(2) Ketidak mungkinan mengartikan lafadz sunnah dalam hadits sebagai suatu pentradisian yang benar – benar baru, sebab barometer baik tidaknya sebuah tradisi adalah syariah sebagaimana yang diyakini Ahlus Sunnah. Sementara melazimi tatacara ataupun bentuk ibadah tertentu yang tidak dijelaskan dalam hadits menurut beliau adalah sebuah upaya "menandingi syariat" .
• Mengenai penyertaan sifat "dhalalah" dalam beberapa riwayat tidaklah menunjukkan makna implisit adanya bid'ah yang tidak sesat, karena penyebutan sifat tidak selalu bertujuan menafikan kebalikan sifat tersebut sebagaimana firman Alloh SWT (QS Ali Imran, 130): لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة
Dalam hal ini maksud penyebutan sifat "dhalalah" adalah untuk mempertegas kesesatan segala bentuk bid'ah .
• Sedangkan sebutan "bid'ah yang baik" bagi pentradisian shalat tarawih berjamaah 20 raka'at adalah memandang realita yang tampak, bahwa bentuk ibadah seperti ini tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw dan masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar Ra, bukan bid'ah dengan makna yang disebut oleh As Syathiby. Adapun kebijakan Sayyidina Umar dalam pentradisian ini tidak bisa dikatakan sebagai bid'ah, karena pada dasarnya sunnah Khulafa' Ar-Rasyidin adalah koheren dengan Sunnah Nabi Saw dari sisi wajib dipatuhinya .
Selanjutnya, secara garis besar klasifikasi bid'ah menjadi lima hukum, beliau katakan sebagai klasifikasi yang tidak mempunyai dasar sama sekali dalam syariah. Asumsi beliau diperkuat dengan esensi bid'ah itu sendiri –sesuai dengan definisi yang beliau ungkapkan- yaitu perkara yang tidak mempunyai dasar dalam syariah. Dengan demikian jika ada dalil syar'i yang secara general menunjukkan hukum wajib, sunnah ataupun mubah suatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak bisa kita sebut bid'ah.
Bentuk - bentuk bid'ah yang dilarang
Dalam beberapa contoh bentuk bid'ah – bid'ah wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah, pendapat imam As-Syathibi masih sejalan dengan pandapat jumhur. Hanya saja beliau tidak mengkategorikannya sebagai bid'ah, sebagaimana di atas .
Letak perbedaan pemikiran beliau dalam tataran aplikatif ( setidaknya melihat fenomena yang kasat mata di daerah ini ), adalah pada praktek ibadah yang masuk dalam nilai general kesunnahan atau kewajiban ibadah tertentu, namun dipraktekkan dalam kemasan tertentu, seperti melaksanakan shalat sunnah seratus rakaat pada malam nisyfu Sya'ban , bersalaman setelah shalat , dsb yang sebagaian dari jenis ini diperkuat dengan riwayat – riwayat hadits dla'if. dalam masalah ini ;
• Menurut beliau melazimi tatacara tertentu ataupun waktu tertentu dalam melakukan ibadah adalah "menciptakan hukum baru". Dalam hal ini beliau menganalogikan dengan kesunnahan shalat atau puasa secara umum, sementara di sisi lain syariah juga menetapkan kesunnahannya dalam waktu – waktu tertentu seperti kesunnahan puasa hari Asyura', kesunnahan puasa hari senin dan kamis. Hal ini menunjukkan bahwa "spesifikasi waktu" adalah hukum syariat tersendiri ( mustaqil ) selain hukum kesunnahan ibadah tersebut secara umum.
• Menggunakan sandaran hadits – hadits dlaif dalam masalah ini tidak dibenarkan oleh beliau, karena penetapan hukum – hukum syariat hanya bisa dibenarkan dengan dalil yang shahih .
Kategori bid'ah semacam ini beliau sebut sebagai "Bid'ah Idhafy", yaitu bid'ah yang dari satu sisi masih termasuk dalam nilai general kesunnahan ibadah tertentu. Dengan demikian justifikasi beliau terhadap kategori bid'ah semacam ini hanya sampai ke stadium "makruh" dan tidak sampai beliau haramkan.
Penutup
Kitab Al-I'tisham pada dasarnya merupakan kitab dalam ilmu Ushul Fiqh. Dengan sekelumit muatannya yang cenderung melawan arus mainstream ( sebatas pemahaman saya ), kiranya merupakan representasi dari pemikiran minoritas ulama salaf yang mempunyai sikap tegas terhadap segala bentuk pembaharuan dalam syariah Islam. Dalam konteks keindonesiaan, atau lebih tepatnya konteks ke-NU-an, argument – argument tegas semacam ini masih dianggap sebagai hal yang tabu. Barangkali di sebagian besar pesantren yang becorak salaf di Indonesia, kitab ini tidak boleh sembarangan dikonsumsi para santrinya. Namun demikian, sebagai bagian dari kalangan akademisi, tentunya kita tidak boleh buta dengan realita perbedaan pendapat dalam dunia pemikiran Islam, karena membuka mata lebar – lebar terhadap fenomena khilaf adalah salah satu cara untuk mengasah obyektifitas berpikir kita. Dan tentunya masih banyak lagi "mutiara" yang bisa kita dapatkan dari kitab ini. Selamat membaca ( By Ahsan )