Krisis global yang belakangan ini memenuhi media massa, baik dalam
maupun luar negeri ternyata banyak menimbulkan reaksi dari para ekonom.
Krugman, misalnya, peraih Nobel Ekonomi 2008 ini mengatakan bahwa
ekonomi dunia akan mengalami resesi dalam waktu yang cukup lama,
sehingga menurutnya krisis kali ini begitu menakutkan. George Soros,
seorang investor dunia, juga memberikan pernyataan senada, bahkan
menurutnya, krisis kali ini lebih parah dibanding krisis finansial
lainnya sejak berakhirnya perang dunia II.
Berbagai pernyataan tersebut juga dibarengi dengan perbedaan asumsi para ekonom mengenai sebab yang melatarbelakangi krisis global itu. Ada sebagian yang menganggap bahwa krisis global ini hanya merupakan kecelakaan peripheral, sehingga hanya membutuhkan rekonstruksi kecil pada salah satu fiturnya. Sebagian lagi berasumsi krisis ini hanya merupakan siklus alami yang pada ahirnya akan melahirkan efisiensi baru sehingga tak perlu ada reaksi yang berlebihan. Dan ada juga yang berangggapan bahwa krisis ini merupakan cacat sistemik. Yakni kekeliruan sistem yang merupakan imbas dari dasar-dasar ekonomi kapitalisme dan kendalinya terhadap ekonomi dunia.
Hal ini kemudian membuat sebagian pakar ekonomi dari berbagai negara di dunia kembali melakukan studi analisis tentang sistem manakah yang sebenarnya layak untuk diterapkan sebagai acuan, apakah sosialisme dan kapitalisme yang menurut fenomena faktual telah memberikan potret buram dalam mencapai tujuan-tujuannya, terbukti dengan beberapa kali krisis yang terulang seperti di tahun 1930, 1970, 1980, 1999, 2001, dan sekarang ini. Lantas keadilan dan bentuk ekonomi seperti apakah yang hendak kita wujudkan?.
Islam sebagai agama yang yang diturunkan melalui wahyu, bukan mengatur masalah peribadatan an-sich, melainkan juga menyentuh aspek social, politik, dan ekonomi. Terkait dengan ini, mengajukan sebuah wacana Ekonomi Islam sebagai alternatif yang dimungkinkan mampu menyelasaikan krisis dalam agenda besar membangun peradaban dunia menjadi sangat urgen mengingat krisis-krisis tersebut membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis yang mendasarkan diri pada filsafat materialisme-sekularisme telah gagal menjawab dan menyajikan solusi atas persoalan ekonomi dan kemanusiaan. Sehingga ada penegasan bahwa ekonomi syariah bukanlah Variant of capitalism seperti yang diasumsikan selama ini, melainkan its alternative.
Permasalahannya adalah sebagai sebuah wacana anyar yang belum memiliki latar belakang sejarah dalam konstelasi perekonomian global, benarkah Ekonomi Islam cukup memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan pelbagai permasalahan ekonomi dunia dan memainkan dinamikanya yang unik dalam mengawal pembangunan peradaban ?.
Tulisan singkat ini akan mencoba menjelaskan apa sebenarnya Ekonomi Islam berikut beberapa nilai lebihnya dalam mengawal pembangunan peradaban sekaligus mencoba sedikit mengkonfrontasikannya dengan beberapa madzhab ekonomi lainnya, seperti kapitalisme dan sosialisme.
Ekonomi Islam dan Necessity
Barangkali cukup bisa dipahami bahwa sistem ekonomi merupakan sebuah ideologi dalam hidup manusia. Hal tersebut karena penganut sebuah sistem ekonomi tertentu akan menjadikannya sebagai prinsip dalam membentuk stuktur sosial. Tentu saja hal ini timbul dari apa yang ia lihat sebagai afdhaliyah dari sistem ekonomi yang ia anut dalam memformulasikan konsep ekonomi yang diyakini mampu membawa masyarakat menuju perkembangan ekonomi yang dicita-citakan.
Secara umum, ekonomi Islam adalah sebuah sistem yang merepresentasikan framework Islam secara komplit dan mampu menginterpretasikan sudut pandang Islam dalam menyelesaikan setiap permasalahan ekonomi. Sementara sistem ekonomi sendiri menurut Sayyid Muhammad Baqir Al Shadr bisa diartikan sebagai sebuah konsep yang diikuti oleh seseorang dalam kehidupan perekonomiannnya dan dianggap mampu menyelesaikan beberapa permasalahan-permasalahan praktisnya. Dari sini sangat jelas bahwa sistem ekonomi bagi sebuah masyarakat adalah sebuah keniscayaan.
Perbedaan yang mendasar antara ekonomi Islam dengan sistem-sistem yang lain adalah ; sebagai sistem, ekonomi Islam lahir dan terkonstruk oleh dua sumber primer dalam hukum Islam, Al-Qur'an dan Hadis. Hal tersebut memungkinkannya memiliki rujukan langit dalam hal equilibrium antara material dan spiritual. Sedangkan sosialis yang merupakan anak kandung Marksisme lahir dari filsafat Karl Mark yang lebih merupakan respon dari kecarut-marutan politik Rusia waktu itu. Sementara kapitalisme juga merupakan sistem yang lahir dari masyarakat barat yang lebih cenderung merupakan reaksi dalam menyikapi permasalahan kemunduran ekonominya, sehingga baik sosialisme maupun kapitalisme hanya menonjol di sisi responsifnya dalam mengakomodir kepentingan duniawi, dan miskin atau bahkan nihil perhatian di aspek ukhrowi.
Paradigma ekonomi sosialisme dan kapitalisme berdiri di atas paradigma yang berupaya melepaskan ilmu ekonomi dari semua kaitan transendental dan kepedulian etika, agama, dan nilai-nilai moral. Hal ini tentu bertentangan dengan worldview Islam dalam ekonomi dan kesejahteraan. Dalam hal kepentingan, misalnya, Islam memaknai kepentingan yang dalam istilah ekonomi bisa diartikan sebagai necessity (kebutuhan). Kebutuhan atau necessity dalam perbincangan ekonomi adalah the crux, karena ekonomi bergerak disebabkan adanya demand (permintaan), sedangkan demand itu ada karena adanya necessity.
Necessity yang dalam bahasa arab berarti Hajat, menurut perspektif ekonomi Islam adalah setiap keinginan yang dilegalisasi oleh syariat yang menuntut untuk dipenuhi. Karena mensyaratkan legalisasi syariat, necessity dalam perspektif Islam bersifat membatasi kebutuhan-kebutuhan yang berpotensi membredel fitrah dan diharamkan oleh agama. Hal ini sama sekali berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme dalam memaknai necessity sebagai setiap bentuk kebutuhan tanpa ada tinjauan aspek legalisasi hukum agama yang pada akhirnya menyisakan kemelut sejarah ekonomi, karena perlahan tapi pasti, sistem ini akan tercerabut dari matrik budaya dan nilai-nilai dalam menganalisis dan memformulasi pemecahan ekonomi.
Ekonomi Islam dan Krisis Global
Aktivitas ekonomi dengan menggunakan global transaction yang belakangan ini sering dilakukan dengan sistem virtual (maya) pada akhirnya sering mengakibatkan instabilitas pasar yang berbuntut pada instabilitas politik suatu negara. Pada beberapa negara maju dan berkembang, hal seperti ini cukup berpotensi menimbulkan krisis yang melumpuhkan sistem sebuah negara dan pada akhirnya menghambat agenda besar membangun peradaban.
Menurut data Morgan Stanley, nilai kredit derivatif (maya) yang merupakan instrument keuangan yang dominan saat ini pada tahun 1998 hanya Rp. 500 triliyun , namun pada Desember 2002 ditaksir sekitar 24.000 triliyun. Suatu kenaikan yang sangat luar biasa. Transaksi derivatif ini adalah jenis transaksi maya (semu) yang dikaitkan dengan aktiva keuangan. Aktivitas transaksi ini tidak banyak yang mengetahui, karena transaksi ini hanya dilakukan oleh beberapa orang di beberapa kota di dunia, seperti London, Tokyo, Hongkong, Singapura, Chicago, dan New York.
Aktivitas transaksi maya yang melancarkan praktek riba, maisir, dan bersifat ghoror tersebut pada ahirnya menggelembungkan ekonomi dunia, sehingga menurut data, transaksi maya di pasar uang dunia mencapai US $ 750 triliyun dalam setahun, sedangkan kegiatan perdagangan dan jasa (sector riil) hanya US $ 7,5 triliyun pertahun. Tidak adanya keseimbangan antara pasar uang dan sector riil yang kebanyakan disebabkan maraknya bisnis spekulasi itu sering disebut dengan bubble economy (balon ekonomi). Artinya, ekonomi seolah menggelembung, namun pada dasarnya kosong, seperti balon. Apabila balon ini pecah, maka timbullah krisis.
Islam sebagai agama yang juga mengatur sektor perokonomian sejak awal membatasi aktivitas perekonomian yang tidak sehat. Untuk itu Islam mengharamkan praktek riba, maysir, dan gharar berikut memberikan kode etik dalam melakukan aktivitas ekonomi yang menutup kemungkinan timbulnya praktek-praktek ekonomi yang tidak sehat seperti bunga bank, spekulasi, dan monopoli, sehingga ekonomi Islam lebih mungkin mengatur arus uang dan sektor riil bergerak secara seimbang yang mana hal ini bagi kapitalis terpisah secara diametral, sehingga mengakibatkan ketidak seimbangan arus uang dan sector riil yang pada ahirnya menimbulkan krisis dan menambah catatan panjang tragedi kemiskinan di dunia.
Civilizing of World
Ide membangun peradaban dunia dan mengamanatkan pembangunan itu di pundak manusia sudah merupakan tema besar yang telah dipaparkan Al-Qur'an jauh sebelum tema itu ramai dibicarakan banyak pemikir dari negara manapun. Salah satu aktivitas dalam kerangka membangun peradaban tersebut adalah mengembangkan ekonomi. Membincangkan perkembangan ekonomi dalam perspektif Islam sebenarnya tidak bisa lepas dari beberapa aspek keislaman yang lain, baik sosial, politik, atau budaya. Karena berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme, perkembangan ekonomi menurut Islam bukanlah aktivitas menggiatkan produksi semata, melainkan juga menyesuaikan produksi itu dengan pemerataan distribusi. Selain itu, perkembangan ekonomi juga bukan dengan pertimbangan laba ekonomi an-sich, melainkan juga merupakan kegiatan kemanusiaan yang mengacu pada pemberdayaan aspek material sekaligus spiritual.
Dari sini, sistem ekonomi Islam menunjukkan progresivitasnya dalam membangun peradaban sekaligus memainkan fungsinya sebagai kontrol. Hal ini berbeda dengan (misalnya) liberalisme yang cenderung memaknai kemajuan peradaban dengan modernisasi yang berspiritkan the idea of progress yang dengan ide ini dunia dipersepsi bergerak secara linear dari mutakhollif (primitive) menuju mutaqoddim (modern).
Karena berbeda secara teoritis dan ideologis, cara pandang ekonomi Islam dalam merumuskan permasalahan-permasalahan ekonomi juga berbeda dengan liberalisme yang merupakan anak kandung kapitalisme dan sosialisme yang merupakan anak kandung marksisme. Liberalisme merumuskan permasalahan ekonomi disebabkan karena sumber alami kekayaan suatu negara tidak mencukupi tuntutan modernitas dan tidak mampu mengakomodir semua necessity atau kebutuhan yang menjadi fitur pelengkap ditengah pergerakan menuju modernisasi. Sedangkan sosialisme, dalam tataran teoritis, merumuskan permasalahan ekonomi disebabkan oleh ketimpangan dalam bentuk produksi dan hubungan distribusi.
Berbeda dengan keduanya, ekonomi Islam memandang bahwa permasalahan ekonomi berpangkal pada kedholiman manusia dalam konsep hidupnya dan kekufurannya terhadap nikmat yang diberikan Allah. Dua sebab inilah yang oleh ekonomi Islam dianggap sebagai pemantik permasalahan-permasalahan ekonomi. Bentuk kedloliman yang dimaksud adalah lonjakan ekonomi tanpa dibarengi distribusi yang baik dan mempergunakan sumber daya tidak sesuai dengan tujuan penciptaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan kekufuran di sini adalah menyia-nyiakan investasi alam dan kemampuan manusia untuk mengolah investasi tersebut. Sehingga apabila pendistribusian ekonomi sudah terbebas dari bentuk kesenjangan hubungan sosial dan kemampuan manusia dalam memanfaatkan alam sudah termobilisasi dengan baik, maka permasalahan-permasalahan ekonomi itu tidak akan terjadi. Sampai di sini bisa kita simpulkan bahwa aktivitas pengembangan ekonomi sebagai proyek membangun peradaban dalam perspektif Islam mengacu pada manusia dalam konteks eksistensinya sebagai subyek dan obyek perkembangan sekaligus.
Penutup
Agenda membangun peradaban yang merupakan amanat yang di-pundak-kan pada umat manusia tidak bisa hanya disikapi sebagai pengembangan materi semata, namun peningkatan aspek material tersebut harus dipijakkan pada kematangan aspek moral dan spiritual. Dalam kaitannya dengan peningkatan aspek material dalam spektrum membangun peradaban, ekonomi Islam bisa dijadikan sebagai sebuah pendekatan alternatif.
Kembali pada Islam, itu adalah jalan terbaik. Karena sebagai sistem, ekonomi Islam menempatkan aspek transendental sebagai prioritas dalam bangunan sistemnya. Selain itu ekonomi Islam bukan hanya menonjolkan aspek moral, tapi juga menyuguhkan prinsip-prinsip ekonomi yang adil, melarang praktek ribawi, spekulasi (derivative). Ekonomi Islam juga sangat mendorong perkembangan sector riil dan tidak memisahkannya dengan moneter, berbeda dengan kapitalis yang justru menaruhnya berseberangan hingga jadilah bom waktu yang sewaktu-waktu mampu meledak dan menimbulkan krisis yang menghambat derap peradaban.
Rasionalitas ekonomi yang diusung oleh kapitalisme juga telah cukup jauh mengabaikan moral sehingga pada akhirnya kapitalisme gagal mewujudkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Justru kesenjangan dan perbedaan antara yang kaya dan yang miskin semakin tajam. Untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain kecuali mengubah semuanya pada tataran visi dan paradigmatik, yaitu melakukan satu titik balik peradaban dengan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Ekonomi Islam mampu melakukannya, dengan menyuguhkan equilibrium antara lahir dan batin dalam setiap aspek kegiatan ekonomi. Nilai unggul inilah yang akan mampu mengantarkan umat manusia menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahu A'lam.
Oleh : Nawa Muhammad: Mahasiswa Fak. Syariah Univ Al Ahgaff Hadhramaut Yaman
Bibliographi :
1. Al-Quran dan Terjemahnya
2. Al Khotib Al Syirbini, Mughni Al Muhtaj.
3. Ahmad Al Syathiri Al Tarimi, Alyaqut Al Nafis.
4. Sayyid Muhammad Baqir Al Shadr, Iqtishoduna
5. Muhammad Basyir Farhan Mar'iy, Al Hajat Al Basyariyah
6. DR. Abdul Haq Al Syakiri, Al Tanmiyah Al Iqtishodiyyah fi Al Manhaj al Islam
7. Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Al Ashriy
8. Allughah Wal Iqtishod (Terjemahan dari Bahasa Inggris)
9. Web Pesantren Virtual.