Seiring berjalannya waktu, zaman pun ikut bergulir semakin maju dan
berkembang seperti halnya saat ini. Sadar tak sadar, secara lambat laun
mulai banyak perubahan yang signifikan bermunculan. Kian lama perubahan
tersebut menjadi besar, semakin besar, dan menjelma bak pusaran kencang
yang siap mengisap siapapun yang berada di dekatnya tanpa ampun.
Pusaran menyatu dengan badai perubahan yang tak segan-segannya berembus kencang membabi buta menyelimuti lautan dan daratan, bahkan memporak-porandakan semuanya tanpa tersisa. Perubahan tersebut meliputi banyak hal; bukan hanya dalam segi kultural saja, namun di antaranya ada juga perubahan yang dapat memberikan efek brain wash yang mengakibatkan sudut pandang menjadi berbeda, karena adanya oknum yang hobi mengadopsi suatu makna kepada makna yang tidak dikehendaki.
Seperti halnya istilah good looking dan bad looking yang belakangan ini ramai diperbincangkan oleh kalangan milenial. Istilah tersebut banyak digunakan dalam berkomunikasi, baik komunikasi satu arah ataupun komunikasi dua arah.
Meski seperti itu adanya, namun secara fakta dan data tidak banyak orang yang mengetahui maksud dari makna istilah good looking dan bad looking yang benar menurut kacamata syariat. Mereka hanya menyimpulkan arti sebagaimana informasi-informasi yang telah mereka dapatkan dari golongan tertentu, tanpa adanya justifikasi yang dibarengi dengan pencaharian makna melalui jalur syariat.
Semua orang mengetahui bahwasannya kedua istilah tersebut berasal dari bahasa inggris, good looking artinya enak dilihat dan bad looking artinya tidak enak dilihat. Banyak orang awam yang beranggapan bahwa kalimat good looking itu hanya pantas disematkan pada mereka yang memiliki paras cantik, berwajah tampan dan rupawan, memakai pakaian dan aksesoris mahal yang mengikuti mode kekinian, memiliki banyak harta, dan seterusnya. Sedangkan kalimat bad looking menurut mereka sangat pantas disematkan pada masyarakat pinggiran, berwajah tidak rupawan, berpakaian compang-camping, hidup miskin dan melarat, dan seterusnya.
Maka bagi siapa saja yang memahami dua kata tersebut hanya melalui zahir lafaznya saja, secara tidak sadar Ia akan terbelenggu untuk menilai sesuatu yang berada di hadapannya, itu hanya melalui bentuk fisiknya saja. Karena menurutnya, memang hanya itu yang tampak di hadapannya. Dari situlah awal mula munculnya penilaian-penilaian yang tidak diinginkan. Hingga pada akhirnya Ia akan menyimpulkan dari hasil pandangannya melalui data empiris yang tidak akurat sesuka hatinya.
Hal seperti inilah yang sangat harus diperhatikan oleh setiap orang dan tentu harus disingkirkan jauh-jauh dari dalam diri. Karena jika tidak memawas diri dan tidak segera diobati, khawatir penyakit tersebut akan tumbuh menjadi inang dan menjadi cikal bakal tumbuhnya benalu di dalam hati, seperti adanya rasa selalu ingin dilihat oleh orang lain, sombong selalu membanggakan diri sendiri, suuzan atau buruk sangka kepada yang lain, hingga pada puncaknya dapat menyebabkan takabur kepada Allah Swt.
Mengenai pembahasan di atas, penulis mengutip dari hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Sahih Muslim. Rasulallah saw, bersabda:
Åöäøó Çááøóåó áóÇ íóäúÙõÑõ Åöáóì ÕõæóÑößõãú æóÃóãúæóÇáößõãú æóáóßöÜäú íóäúÙõÑõ Åöáóì ÞõÜÜÜÜáõæÈößõãú æóÃóÚúãóÜÜÇáößõãú.
Yang artinya: "Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian." [HR Muslim]
Dari hadis ini kita dapat memahami dan menyimpulkan, bahwa orang yang berpenampilan ala kadarnya, bukan berarti dia memiliki hati yang tidak baik. Karena berapa banyak dari kekasih Allah yang memilih untuk hidup sederhana, menutup diri dari gemerlapnya dunia, bahkan di antara mereka ada yang menyamarkan dirinya agar terlihat seperti "orang gila", namun pada hakikatnya mereka memiliki kedudukan paling tinggi di sisi Allah Swt.
Ahgaff Pos, [٠٧.٠٥.٢١ ٠١:٥٥]
Bahkan dalam hal memberi ganjaran pun Allah tidak akan memandang dan menilai melalui rupa, bentuk tubuh, dan jumlah harta yang dimiliki oleh hamba-Nya. Secara spesifiknya, Allah hanya akan memberi ganjaran kepada hamba-Nya yang memiliki hati bersih, tulus, dan senantiasa beramal salih.
Allah tentu memiliki cara menilai yang berbeda dengan makhluk-Nya. Bahkan penilaian Allah tertuju pada hal-hal yang lebih dalam, bukan hanya menilai sekadar apa yang tampak dari tubuh kita ataupun menilai sesuatu yang terkesan mewah di mata kebanyakan manusia.
Kesempurnaan fisik dan kekayaan harta benda bukan menjadi tumpuan utama dalam penilaian Allah, melainkan Allah menilai dari kualitas hati dan mutu perbuatan hamba-Nya. Hati seharusnya menjadi perhatian utama daripada baiknya lahiriyah tubuh seseorang. Baiknya hati, berakibat pada baik pula amalan lainnya. Hati yang bersih akan menyebabkan amalan lainnya dapat diterima. Beda halnya jika memiliki hati yang rusak, terutama hati yang tercampur noda syirik. Naudzubillah.
Demikianlah perspektif good looking dan bad looking menurut kacamata syariat. Oleh karenanya sangatlah patut bagi kita agar tidak menilai seseorang melalui bentuk fisiknya saja, tanamkan dalam diri untuk senantiasa berbaik sangka kepada siapapun. Semoga kita semua menjadi hamba yang memiliki budi pekerti yang baik, senantiasa berbaik sangka kepada siapapun dengan tanpa adanya rasa lebih baik dari orang lain.
Semoga bermanfaat, sekian dan terima kasih.
Oleh: Naufal Kamil Arrahman