Beberapa hari yang lalu kalangan akademisi Univ. Al Ahgaff dikejutkan
dengan tersebarnya video dari cannel IQRA yang menayangkan aktivitas
Muslimin yang berziarah di makam Zambal, Tarim-Hadhramaut-Yaman.
Dalam video yang berdurasi sekitar satu jam itu, pembawa acara menayangkan berbagai kegiatan yang menurutnya adalah perbuatan bid'ah dan syirik, semisal ziarah kubur, membaca Al Quran di sampingnya, tawassul dan bahkan menuduh mereka menyembah kubur. Mencoba mengorek kesalahan saudara semuslim yang menurutnya patut diberantas. Tak lama pula di tempat yang kini saya tempati, Tarim, terjadi pengeroyokan terhadap sebagian pelajar yang sedang mengadakan kajian kitab di salah satu masjid, yang diklaim bahwa masjid itu adalah milik sekte para pengeroyok. Saat tinggal di Indonesia, tak jarang pula saya menjumpai saudara semuslim yang menganggap bahwa Muslim yang tidak dari golonganya itu najis, sehingga ada larangan untuk memasuki masjid miliknya. Ada pula yang menuduh saudaranya celaka gara-gara tidak pernah mengadakan maulid. Tak sedikit pula teman mahasiswa di Indonesia yang curhat, kalau di kampus mereka, ada sebagian mahasiswa yang sering mengadakan kajian Islam di masjid kampus, namun isinya lebih sering membid'ahkan dan menyesatkan Muslim lainya, sehingga mengusik hati sebagian mahasiswa yang tak segenre dengan mereka. Paradigma fenomena yang saya paparkan di atas tak lain adalah imbas dari fanatisme sekte yang terkadang tidak disadari oleh umat Muslim, dimana hal tersebut dapat menimbulkan rasa benci yang berujung pertikaian fisik antar sesama Muslim.
Fanatisme oleh pepatah Arab dianalogikan seperti kobaran api yang dapat menghanguskan ukhuwah. Fanatisme adalah virus berbahaya karena tembok pertahanan Muslim bisa roboh karenanya. Seseorang yang terjangkit virus ini suka sibuk mencari aib saudaranya semuslim dan akhirnya melupakan dakwah pada Islam sendiri. Ia adalah virus yang terkadang tampak elok di pelupuk mata. Dikatakan virus elok, karena Muslim yang terjangkit fanatisme sekte akan merasa cuma sektenyalah penegak agama Allah dan menafikan lainya. Fakta yang kami paparkan di atas mungkin terjadi karena benci dan menganggap musuh saudara Muslim yang tidak segenre denganya. Berangkat dari sini, hati saya terdorong untuk memaparkan manhaj moderat berdakwah dan menawarkan pada umat Islam.
Memahami Manhaj Dakwah Moderat
Siapa yang tidak mengenal cendekia sekaligus da'i kondang internasional, Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz Tarim-Hadhramaut. Ulama' besar yang kerap keliling dunia untuk mengemban amanah dakwah, hingga muridnya berdatangan dari pelbagai benua: Eropa, Afrika, Asia bahkan sampai Amerika. Kunci kesuksesan beliau dalam berdakwah adalah mengimplementasikan manhaj wasathiyah atau moderat. Dalam berdakwah tak pernah sekalipun beliau membeberkan aib dari sekte lain, sampai itu Syiah sekalipun. Beliau dalam berdakwah, berusaha mencari titik temu yang menyatukan setiap sekte di dalamnya. Titik temu itu adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Tiga dogma (rukun) inilah yang mempertemukan semua sekte dalam setiap segmen tubuh Islam, baik itu Salafy, Sunni, Khawarij ataupun Syiah. Dengan metode itu, Muslim dari sekte apapun bisa menerima dengan lapang dada dakwah beliau. Beliau ingin semua Muslim kembali pada Allah dengan tiga rukun tadi karena itulah inti dari agama Allah dan itulah hakikat dakwah yang dicontohkan oleh Rasululllah. Itulah Habib Umar dengan manhaj wasathiyahnya. Jadi, manhaj moderat dalam berdakwah yang saya maksud adalah mengajak manusia kembali pada Allah dengan orisinalitas tiga dogma yakni, Iman, Islam, Ihsan dan menjauhkan dakwahnya dari tudingan atau celaan terhadap Muslim dari sekte apapun. Sebab, seperti inilah dakwah Muhammad khairul basyar. Karena Muhammad tidak pernah menghina sesama ahli la ilaha illa Allah.
Rektor Universitas Al Ahgaff, Prof. Habib Abdullah Baharun kerap berpesan bahwa umat Muslim dari sekte apapun, adalah umat lailaha illa Allah, oleh karena itu interaksi kita dengan mereka juga yang sesuai dengan ajaran la ilaha illa Allah. Jadi kita mesti paham bahwa variatif sekte yang ada dalam Islam itu semua adalah ahli la ilaha illa Allah. Mereka semua mengesakan Allah. Allah membelai mereka dengan belaian Islam. Allah mencintai mereka karena hurmat atau kemulyaan kalimah tauhid ini. Dalam satu kisah diceritakan bahwa Rasul SAW marah ketika salah seorang sahabat membunuh orang kafir yang telah mengucapkan la ilaha illa Allah dalam satu peperangan. "Wahai Rasul, dia mengucapkan la ilaha illa Allah supaya aku tidak membunuhnya," kata sahabat itu. "Apa kamu telah membelah dadanya hingga kau tahu bahwa dia mengucapkan la ilaha illa Allah karena takut dibunuh..???!!!" jawab Rasul berulang kali. Beginilah Rasul SAW. mengajari para sahabat agar mereka juga memahami betapa mulianya kalimat tauhid ini disisi Allah, sehingga mereka tidak boleh sembarangan ketika berinteraksi dengan sesama umat islam, apalagi sampai menuduh mereka kafir hingga membunuhnya.
Fenomena yang terjadi, baik itu di Timur Tengah atau negara kita adalah saling olok antar satu sekte dengan yang lain. Misalnya orang Salafy tidak suka kalau ada orang NU yang mengadakan tahlil lantas mengolok di halaqahnya, dengan mengatakan itu bid'ah, haram, syirik kita harus memberantasnya. Orang NU dalam ceramah-ceramah terkadang juga mengolok Salafy dungu, dangkal, sok pintar. Itu semua akibat fanatisme sekte yang telah membelenggu di otaknya. Dalam hal ini seorang pemikir Islam terkemuka, Hasan Al Banna mengatakan bahwa tak seharusnya kita kini memperdebatkan perbedaan klasik ini karena para ulama dulu sudah berusaha untuk menemukan titik temu dalam masalah khilafiyah (ziarah kubur, tawassul, dll.) ini, namun hasilnya tetap saja terjadi perbedaan di antara mereka, oleh karena itu ada baiknya kita tanggalkan perdebatan klasik ini. Bahkan di negara Somalia, sampai kini, masih terjadi pertumpahan darah gara-gara ada sekte yang suka mengkafir-kafirkan (Jama'ah Takfir), ini yang saya takutkan kalau sampai terjadi di Indonesia . Oleh sebab itu ada baiknya kita juga mengaplikasikan apa yang pernah diucapkan oleh Habib Abu Bakar Al Adny, da'i sekaligus pemikir Islam asal kota Aden, dalam satu lawatannya di Univ. Al Ahgaff, beliau berkata bahwa da'wah, itu yang bermanfaat bagi umat bukan malah memecah belah umat. Menuduh kafir, pertikaian, perdebatan yang berlandaskan hawa nafsu itu adalah dakwah yang memicu perpecahan dan itu yang mesti kita tanggalkan kini.
Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal, "Hai si hitam." Rasul pun mendengar dan berkata, "Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang kecuali taqwa." Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal, "Aku telah mengolokmu dan aku mengaku salah." "Aku telah memaafkanmu," kata Bilal. "Tidak, belum, ini wajahku kutaruh di tanah dan injaklah hingga keluar virus kesombongan dariku," kata Abu Dzar. "Aku telah mengampunimu," kata Bilal. "Tidak demi Allah hatiku takkan tenang hingga kau menaruh kaki di wajahku ini, hingga penyakit ini hilang," kata Abu Dzar. Beginilah Rasul mendidik umat la ilaha illa Allah agar saling menghormati, toleran, tidak menyakiti dan sikap inilah yang mesti kita implementasikan ketika bertemu dengan sesama umat la ilaha Illa Allah, dari sekte apapun. Agar dakwah untuk mengajak umat kembali pada Allah terus langgeng dan tidak mandeg gara-gara disibukkan dengan saling jegal antar sekte.
Memahami Hadis Iftiroqul Ummah
Terdapat banyak redaksi mengenai hadis iftiroqul ummah ini sehingga memicu multitafsir di dalamnya. Hal ini sangatlah lumrah dalam wacana khazanah Islam. Ada baiknya kalau kita mengikuti para yuris Islam yang moderat. Mereka, dari banyaknya redaksi hadis tersebut, menyimpulkan bahwa umat Muhammad itu terbagi menjadi dua: umat yang masuk Islam, (ummatul ijabah) dan umat yang belum masuk Islam (ummatud dakwah). Lha, apabila terjadi perpecahan dari dua golongan tersebut (umat ijabah dan umat dakwah) maka yang diinginkan dari hadis tersebut adalah orientasinya, siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka?, maka jawabanya yang mendeklarasikan keesaan Allahlah yang masuk surga dan yang tidak alias menyekutukan Allah, maka ia masuk neraka.
Dengan memahami hadis ifiroqul ummah seperti para yuris moderat, maka konsekwensinya adalah semua sekte yang ada dalam tubuh Islam akan tetap selamat dan masuk surga. Kita bisa menyayangi para umat la ilaha illa Allah sebagaimana Allah menyayangi mereka. Kita juga bisa menghindarkan umat Islam dari fanatisme dan klaim cuma sektenya saja yang selamat. Sebab kalau tidak demikian, klaim egois itu akan terus berlanjut lantas berimbas pada pertikaian, perpecahan umat, dan pertumpahan darah. Lantas siapa yang akan mengemban estafet dakwah untuk mengislamisasikan orang kafir?. Bahkan DR. Muhammad Sa'id Ramadhan Al Bouthi, ketika ditanya apakah orang Amerika di jauh sana, yang tidak pernah mendapatkan dakwah Islam itu masuk neraka atau surga? Beliau malah menjawab, justru yang saya khawatirkan adalah diri kita yang melupakan dakwah kepada orang kafir di Barat dan lainya, apakah kita akan selamat dari jilatan api neraka?. Oleh sebab itu, memahami hadis ini secara moderat adalah sangat perlu hingga kita akur dan damai dengan saudara semuslim hingga tidak melupakan umat (baik ijabah atau dakwah) untuk kembali pada Allah.
Dakwah moderat inilah yang kini terus diperjuangkan oleh para cendekia Muslim Hadhramaut semisal Habib Umar bin Hafidz, Habib Abu Bakar Al Adny dan Prof.Habib Abdullah bin Muhammad Baharun. Mereka mengajak umat la ilaha illa Allah untuk kembali pada Allah dengan mengajarkan esensi dari inti agama, yaitu Islam, Iman dan Ihsan, tanpa mengajak umat untuk saling tuduh, jegal, menyesatkan yang rawan pertumpahan darah. Dan dakwah model inilah yang tampaknya cocok untuk kita implementasikan di bumi pertiwi yang ditemukan berbagai genre atau sekte islam didalamnya. Allahum waffiqna wa aqim bainana ta'awun 'ala ma yurdhik.
Oleh: Najih Baihaqi mahasiswa Universitas Al Ahgaff tingkat dua, fakultas Syariah dan Hukum.