Munculnya wajah Islam dalam kehidupan sosial yang berimplikasi pada sosialisasi fiqih, selalu menimbulkan pro-kontra para cendekiawan muslim dunia. Hal ini dipicu oleh kontrasnya panorama realitas sosial masyarakat muslim yang modern, plural dan heterogen dengan realitas sosial masyarakat muslim lainnya yang terkesan klasik, ortodok dan mu'tazil. Pemandangan ini bisa ditelisik dari sejarah Islam yang pada jaman dahulu hanya berkembang di Jazirah Arab, Timur Tengah, dan sebagian Afrika. Namun setelah Islam berkembang pesat di Asia Tenggara, Eropa dan Amerika, sangat dirasakan adanya perbedaan realitas yang menuntut munculnya wacana fiqih baru yang bisa bersahabat dan mampu mengakomodir kemaslahatan seluruh umatnya yang tersebar di berbagai benua.
Khazanah fiqih adalah kawasan liberalis intelektual para mujtahid dalam mentafsirkan atau menggali hukum dari sumber-sumbernya, hanya saja dengan kode etik dan dlawâbit yang telah ditetapkan oleh para cendekiawan dalam ushûl al fiqhnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya hukum-hukum fiqih yang hanya bertendensikan 'urf atau adat, mashlahah al-mursalah, dlarurat, sadd al-dzarai' dan lain sebagainya yang termasuk dalam dalil-dalil yang mukhtalaf fîh, sehingga berimplikasi pada ketidakmenentuan dan fleksibelitas fatwa atau hukum fiqih. Perubahan itu didasarkan pada perubahan kondisi atau realitas yang terjadi dalam masyarakat sekitar sehingga menuntut terjadinya perubahan hukum yang oleh para ulama diistilahkan dengan taghayyurul hukm yang merupakan reaksi dari taghayyur al-zamân wa al-makân.
Bertolak dari prolog di atas, fiqih yang merupakan pengetahuan atau ilmu tentang hukum-hukum Islam yang dideduksi dari sumber-sumbernya yang partikular dan bersifat dzanni yang sudah barang tentu masih bisa diamandemen atau direkonstruksi sesuai dengan realitas masyarakat setempat -namun, bukan semua hukum bisa direkonstruksi dan tidak disesuaikan dengan keinginan atau kepentingan individu, golongan, kelompok bahkan negara. Maka seyogyanya fiqih harus bisa mengakomodir dan tampil kooperatif terhadap wacana atau realitas sosial yang baru-baru ini mengemuka di panggung publik. Langkah akomodir dan kooperatif ini tidak lantas hanya diwacanakan dengan munculnya fatâwâ al-mu'âshirah atau wacana yang seringkali diistilahkan dengan fiqh al-nawâzil, namun butuh langkah-langkah praktis dan dinamis dalam mensosialisasikan bahwa Islam adalah agama yang rahmah lil'âlamîn dan murûnah selaras dengan realitas sosial masyarakat setempat (shâlih fî kull zamân wa makân).
Fiqih Islam juga tidak lepas dari wacana pro-kontra baik dalam mazhab atau antar madzhab lainanya. Dari perbedaan pendapat antar ulama ini, berimplikasi terhadap lahirnya khilaf yang cukup tajam sehingga dengan perbedaan itu bukanlah menjadi sebuah wacana atau khazanah keragaman Islam (ikhtilâf ummatî rahmah) tetapi justru menjadikan pengikutnya terjerumus kedalam fanatisme bermadzhab ('ashabiyyah), sehingga tidak menerima dengan perbedaan dan pandangan atau pendapat madzhab lain.
Di sini para cendikiawan muslim dituntut untuk mensosialisasikan arti sebenarnya tentang madzhab atau sekte, sehingga masyarakat mampu membuka pandangannya mengenai keberagaman hukum yang ada dalam fiqih Islam.
Fiqih akomodatif dan kooperatif, akhir-akhir ini banyak diusung dan disosialisasikan oleh kalangan mu'âshirîn demi menjaga univikasi dan menjauhi perpecahan yang sampai menyentuh sakralitas beridiologi, yakni saling menyematkan label sesat dan kufur sesama muslim. Abu Bakar ibn Ali Al'adni dalam menyatakan pentingnya wacana responsif sebagai langkah apresiasi dan koreksi terhadap perkembangan jaman dan realitas masyarakat yang berbeda dengan realitas jaman dulu. Dalam bukunya, fiqh al-tahawwulât dia mengusung univikasi umat Islam di berbagai belahan dunia dengan mengedepankan wacana rukun iman yang kelima, iman kepada hari kiamat. Hal serupa telah dilakukan oleh Abdullah ibn Mahfudz ibn Bayyah dengan mengangkat fiqih minoritasnya walau masih menjadi wacana pro dan kontra antar ulama. Ia dalam fatwa-fatwanya cenderung melakukan langkah simplifikasi dan melakukan survei dan mewacanakan khilaf para ulama sebagai responsifitas dan selektifitas jawaban yang sesuai dengan realitas sosial.
Menurut penulis, gagasan fiqih akomodatif juga dapat disosialisasikan sebagai langkah awal yang praktis dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Memahami hadits "man qâl lâ ilâh illallâh dakhal al-jannah". Hadits ini sebagai inspirasi untuk mewujudkan univikasi umat Islam (wihdah al-ummah) di berbagai belahan dunia dan menghilangkan manhaj takfir antar sesama umat Muhammad saw. Pemahaman ini merupakan catatan penting demi menghilangkan sekat atau dikotomi aliran atau madzhab tertentu sehingga antar umat Islam berbaur dan bernaung dibawah payung Islam yang rahmat lil'âlamîn.
2. Sosialisasi tunggalisasi syari'at. Syari'at Islam yang luas dan mencakup tiga sendi penting dalam sendi-sendi Islam; iman, islam dan ihsan sangat berbeda dengan makna fiqih yang cakupannya lebih sempit dan kajiannya hanya berkaitan dengan aktifitas keseharian muslim mukallaf dalam tataran sah dan tidaknya ibadah atau muamalah seseorang. Fiqih yang sempit kadang berdampak pada kesalahfahaman sesorang dalam mengartikannya, sehingga bisa disetarakan dengan syari'at yang menurut sebagian golongan, ketika sudah berbeda dalam hukum fiqih yang dianutnya maka secara spontanitas disematkan label sesat dan tidak sesyari'at.
3. Mereinterpretasi hadits "man ijtahad fa`ashâb falah `ajrâni, wa man ijtahad fa`akhtha` falah `ajr wâhid" sebagai bentuk sosialisasi atas legalitas madzhab-madzhab lain yang telah diakui oleh para cendikiawan muslim. Tahapan ini mengajak masyarakat luas untuk tidak saling lempar kata sesat antar satu sekte dengan yang lainnya dan menghormati perbedaan-perbedaan madzhab lain.
4. Memahami kembali makna madzhab fiqih. Wacana ini sebagai penjelasan atas absurditas pemaknaan madzhab sehingga wawasan madzhab lebih luas dan masyarakat bisa memilih dan mengamalkan madzhab lain baik dalam darurat atau tidak agar tidak terjebak dalam hukum-hukum haram yang kadang memberatkan pengikutnya. Hal ini tentunya dengan aturan atau dlawâbit yang jelas agar tidak terjerumus dalam talfîq dan tatabbu' al-rukhash (mengamalkan pendapat-pendapat yang ringan dari berbagai madzhab).
5. Mengenalkan fiqih muqâran (perbandingan madzhab) sebagai awal langkah mensosialisasikan wacana khilâfiyah madzhabiyah. Wawasan perbedaan pendapat antar para ulama sangatlah penting sebagai barometer keyakinan seseorang terhadap madzhab yang dianutnya dan mengetahui dalil dan hujjah dari madzhab lain dalam memandang permasalahan yang berbeda hukum.
6. Mengumpulkan dan memungut kembali pendapat para ulama baik satu madzhab atau antar madzhab dan meninjau ulang pendapat mereka yang telah lama dibuang dan dicampakkan begitu saja sebagai langkah mengakomodir dan mencari pendapat para ulama yang sesuai dengan daerah atau realitas masyarakat tertentu. Dari kumpulan hukum tadi bisa disosialisasikan dan diaplikasikan dalam lingkungan yang sesuai dengan hukum yang ada, sehingga tidak memberatkan penganutnya dalam menjalankan aktifitas ibadah dan muamalahnya.
7. Menghormati pendapat orang lain dan tenggang rasa antar sesama. Hal ini sebagai wujud aplikasi sosial antar sesama, dimana rasa ini harus dipupuk sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik antar madzhab.
Secara global dan kesimpulan dari langkah-langkah alternatif ini bertujuan menghilangkan atau meminimalisir fanatisme bermadzhab yang berimplikasi pada musibah besar; saling melempar kata sesat dan takfir antar umat Islam. Ini merupakan langkah awal untuk mengakomodir semua pendapat ulama yang terkumpul dalam karya-karya mereka yang terdokumentasikan sejak awal munculnya Islam, sehingga bisa muncul fiqih yang akomodatif. Langkah selanjutnya dengan meninjau kembali pendapat-pendapat para ulama, terhitung dari jaman sahabat sebagai bentuk selektifitas pendapat yang bisa diaplikasikan dan dikondisikan dengan keadaan yang ada. Dan langkah terahir adalah dengan memunculkan fatâwâ mu'âshir dan fiqh al-nawâzil. Wallâh a'lam.
Oleh : Abdolmoeez, Mahasiswa al Ahgaff Univ. tingkat III, semester V. Sekaligus ketua umum Forum Mahasiswa Indonesia al-Ahgaff (Formil) periode 2009-2010.