“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari
fakulti sehingga akan memperoleh keringanan dalam pembiayaan, kita
harus bersabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta
dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak
sekalian kita reguk sumsum penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi
akademik kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita.”
Diatas adalah kutipan dari tulisan Kang Abik (Habiburrahman El-Shirazy) dalam novelnya “Ketika Derita Mengabadikan Cinta” , sebuah cinta yang mengukir seorang biasa jadi sarjana, menambah kuat tekat meraih cita-cita, dan merangkul keabadianya menjadi sebuah puncak menara kebahagiaan. Itulah cerita dilema cinta antara Prof. Siddiqo binti Abdul Aziz dengan suaminya Prof. Mahmud Hasan, yang berani mengatakan deal untuk cinta sejati yang penuh lika-liku penderitaan, cacian bahkan usiran dan akhirnya ia buktikan dengan gelar professor yang diraih bersama istrinya..
Ini mungkin sebuah hayalan novel belaka atau bisa disebut sebuah cerita fiksi, namun kita perlu memahami kenyataan itu ada dalam hayalan, karena adanya kenyataanlah kita bisa berimajinasi membumbuhi hayalan kita (walaupun tak semua hayalan itu nyata).
Saya punya bukti sendiri, dimana cinta banyak membuat orang jadi sarjana, dimana cinta bisa membuat seseorang bersemangat, lebih bergairah bahkan tanpa lelah bekerja menggapai cita-cita. Banyak sekali contohnya, diantaranya Prof. Dr Yulian W (Guru Besar UIN Sunan kalijaga) rela berjualan tempe di Universitas Harvad bersama istrinya untuk meraih gelar Doktoralnya, Dr.Phil.Sahiron Syamsuddin rela bekerja menjadi pelayan bersama istrinya untuk menempuh studi Doktornya di Jerman, Gus Dur lebih bersemangat menempuh kuliah di Bagdad ketika cintanya diterima Neng Nuriyah dan akan dikawinkan dengannya dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang menikah di waktu masih belajar dibangku kuliah.
Memang, berdasarkan penelitian seorang psikolog, Jens Forster dari University of Amsterdam yang berjudul Why Love Has Wings and Sex Has Not, dia menyimpulkan bahwa “cinta itu membuat kita cenderung berpikir lebih besar dan kreatif”
Katakanlah cinta itu obat, ia bisa menyembuhkan orang sakit, namun juga bisa membunuh jikalau terlalu banyak meminumnya. Cinta bisa menjadikan orang pemalas menjadi rajin, yang culun jadi melankolis, yang apatis jadi partisipatif, yang statis jadi dinamis, yang bakhil jadi dermawan, hambatan jadi pembuktian, bahkan yang terasa tak mungkin jadi mungkin.
Namun, cinta tanpa ikatan bagai obat tanpa takaran, bisa dilihat dari banyaknya pelecehan seksual pra-nikah dan berbagai kejadian pemuda-pemudi yang kerap menjadi aktor bang NAPI di Televisi. Untuk itulah Islam datang membawa syari’at sebagai hukum Ilahi dan jalan keluar yaitu syari’at “menikah”. Ibadah yang sangat banyak pahala, barokah, manfaat, dan banyak ni’mat bahkan hal itu merupakan penyempurnaan dari separuh agama.
Sehubungan dengan tema bahasan, “kuliah sembari berumah tangga” mungkin ini sebuah jalan keluar bagi anak muda namun bisa juga menjadi sebuah problem baru yang muncul. Kemudian bagaimana kajian Islam dan sosio-biologis mensolusikan problem baru tersebut? Untuk itu, sebelumnya marilah kita bahas pernak-pernik mengenai pernikahan terlebih dahulu.
Hukum Menikah
Menikah adalah perkara Sunah, namun dengan dalih dan macam-macam sebab hukum menikah dapat berubah menjadi wajib, haram ataupun mubah.
Hukum menikah menjadi wajib ketika memang ia tidak bisa menjaga kesucian (iffah), sebab menjaga kesucian merupakan kewajiban bagi orang muslim, dan jalan keluar yang paling baik adalah menikah.
Hukum menikah bisa berubah menjadi haram jika orientasi dari menikah adalah sesuatu yang menyakitkan atau sudah punya azam untuk menodai perasaan orang lain.
Hukum menikah juga berubah mubah jika memang belum terasa butuh namun ia sudah sanggup menjalani pernikahan.
Dan terakhir Hukum menikah sunah apabila kedua mempelai sudah siap semua baik dzohir maupun batin, tidak ada unsur paksaan ataupun sesuatu yang mengganjal dalam pernikahan.
Maka dari itulah, sebelum menikah seseorang harus memiliki persiapan-persiapan yang matang, diantaranya ada 3 yaitu :
1. Kesiapan ilmu, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju' bahkan mengenai tata pergaulan dalam pernikahan.
2. Kesiapan materi/harta, yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan. Namun mengenai mahar, jika memang tidak mempunyai apa-apa boleh seorang mempelai pria memberikan mahar dalam bentuk ma’nawi, seperti hafalan Al-Qur’an, Alfiah, atau yang lain.
3. Kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten.
Kemudian Bagaimana Hukum Pernikahan Dini ?
Pernikahan dini hanyalah sebuah sebutan bagi orang yang Nikah Muda (mungkin erat kaitanya dengan tema kali ini, kita bisa khususkan nikah dini sebagai nikah waktu masih di bangku belajar atau kuliah ) secara hukum umumnya sebenarnya sama dengan hukum pernikahan biasa, namun kita dapat mengkategorikan menjadi beberapa aspek, diantaranya :
a. Hukum menikah bagi mahasiswa, sedang ia masih dapat menjaga dirinya (masih ok).
Hukumnya tetap seperti hukum utama menikah yaitu sunah, namun secara hukum fikih prioritas haruslah mengutamakan belajar karena belajar hukumnya wajib. Lebih baik bagi orang yang masih mampu untuk mengerem nafsunya mendahulukan belajar dibanding dengan menikah, karena jika dijalankan keduanya akan menambah beban tanggungan baik fisik, perasaan, pikiran maupun materi.
b. Hukum menikah bagi mahasiswa, sedang ia tidak bisa lagi menjaga dirinya (kebelet).
Kalau memang sudah kebelet alias tidak bisa ngerem nafsu, menikah hukumnya menjadi wajib bagi dirinya. Karena itulah jalan terbaik agar tidak masuk dalam jurang perzinaan. Namun disini kita perlu menelaah kembali, apakah ia mampu atau tidak (baik dalam segi materi maupun rohani)?
Jika ia sudah merasa mampu dzohir dan batin, maka menikahlah! namun jangan sampai melupakan beberapa hal dibawah :
a. Kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan. Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim, menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan.
b. Harus exstra proporsional dan profesional dalam membagi waktu baik bersama keluarga, Kampus, dan teman-teman yang lain.
c. Jangan lirik-lirik yang lain, atau dengan kata lain “jangan poligami dulu lah”.
Namun jika memang belum mampu, mungkin yang kerap terjadi belum bersiap materi (karena hidup masih numpang orang tua atau sudah bekerja namun tak
bisa mencukupi kebutuhan keluarga) bisa mengingat hal dibawah :
a. Coba berfikir kembali dan isi hari-hari dengan berpuasa (untuk menahan syahwat).
b. Kalau benar tak bisa, coba obrolkan bersama orang tua. Dan jika memang benar-benar tekat menikah, maka ia boleh meminta nafkah kepada orang tua terlebih dahulu sebab ia tidak mampu secara hukum. Sebenarnya nafkah ayah kepada anak hanya sampai anak itu baligh, atau sampai anak itu mampu mencari nafkah sendiri. Namun kalau anak itu tidak mampu secara fisik (‘ajiz fi’lan) seperti cacat, atau tidak mampu secara hukum (‘ajiz hukman) –walaupun sudah baligh atau sudah bekerja tapi tidak cukup— maka sang ayah tetap berkewajiban memberikan nafkah.
“Rauplah cinta seperti rindunya rabi’ah pada tuhannya, rauplah bahagia seperti bahagianya majnun ketika melihat laila” (noor el-faruq).
Oleh: Noer al- Faruq, Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas al- Ahgaff asal Jawa Tengah.