Sebuah Penantian
The Source: indo.hadhramaut.info - 16 Juni 2008
Home \
Artikel
Anton, salah seorang kolega sekaligus teman diskusi yang kebetulan berdomisili di Hadhramaut, tidak bosan-bosannya mengeluh kepada Ardi (bukan nama sebenarnya) akan rasa jenuh yang semakin menggila dan menjadi-jadi. Karena sudah sekitar tiga tahun lebih ia bergaul dengan habitat Hadhramaut yang menurutnya stagnan, padahal dulu ia puja-puja bahkan sampai ia kultuskan. Ia ingin menghirup udara negri lain yang lebih kondusif baginya, berbekal otaknya yang memang lumayan encer. ketidakstabilan dalam menghadapi dan mensikapi rasa bosan yang nota bene lumrah bagi setiap individu akhirnya memaksanya untuk nekad men-drop out-kan diri dari institusi pendidikan tempat ia menimba ilmu. Tanpa berpikir panjang lagi ia mencari alternatif lain untuk hidup dengan dalih upaya pencarian identitas diri. Sebagai seorang pendengar setia dari semua keluhannya itu Ardi hanya mampu memberikan resep kesabaran, toh, tiga tahun lebih sudah ia lewati dengan sukses, apakah menunggu setahun atau dua tahun saja tidak sabar. Ternyata idealisme yang tak terkendali itu hanya membuat ia pada akhirnya gigit jari. Setelah ia sadari bahwa langkahnya terlalu gegabah dan sikapnya tak lebih adalah ilustrasi suatu ketergesa-gesaan. Suatu ungkapan yang cukup popular menyatakan bahwa pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggu. Agaknya, dalam dataran empiris hal ini sangat tepat. Terlepas dari validitas ungkapan tersebut atau kepada siapa diafiliasikan. Tapi itulah realita. Sebab pada saat menunggu seseorang berada dalam kondisi yang memposisikannya pada situasi ketidakpastian. Ketika itu secara psikologis dirinya menuntut untuk memperoleh sesuatu yang ditunggu tersebut secara langsung tanpa ada aral berbentuk ruang tempat atau waktu yang menghalangi. Namun bagaimanapun hukum alam berteriak dengan lantang bahwa tidak ada yang instan di dunia ini. Semuanya perlu proses. Dan menunggu adalah salah satu dari proses itu. Diantara kiat agar frekwensi kebosanan itu bisa diminimalisir kalau tidak dieliminasi adalah mengisi kekosongan waktu dengan aktifitas yang positif. Membaca misalnya, oleh karena itu format buku saku yang dewasa ini banyak disosialisasikan oleh para publisher merupakan inisiatif yang briliant. Sebab disamping simpel juga rata-rata ekonomis. Game dalam ponsel yang cukup beragam juga sedikit banyak bisa melupakan keluh kesah dalam ruang tunggu. Meski, imbas buah pikir dari aktifitas itu tidak sepadan jauh bila dikomparasikan dengan kegiatan membaca. Kasus yang dialami oleh Anton sekalipun skalanya lebih luas -bukan generalisasi kasus atau usaha simplifikasi- tapi tidak salahnya bila kita analogikan dengan contoh-contoh sederhana diatas. Sebab situasi yang ia hadapi memang juga perlu dicarikan problem solving yang tepat, tanpa harus berakibat fatal. Caranya adalah dengan menciptakan suasana menjadi selalu baru. Contohnya, membentuk group nasyid, tim diskusi kecil-kecilan, mengembangkan skill yang dimiliki dalam sektor tertentu, penterjemahan, jurnalistik, tulis menulis, atau yang lain. Yang pasti masih dalam koridor aktifitas yang positif dan dinamis. Insya Allah, sedikitnya akan mengurangi rasa bosan yang sedang melanda. Di jauh hari seorang pujangga berkata : Sabar meski rasanya pahit seperti daun Shibr Namun manisnya nanti mengalahkan madu Oleh : A M Lazuardi
|